Setiap hari, Mentari berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Kebetulan jarak rumah Mentari ke sekolah tak begitu jauh. Paling-paling hanya membutuhkan waktu lima menit. Itupun jalannya santai. Tetapi terkadang dia diantar jemput. Biasanya kalau dia habis sakit dan masih dalam masa penyembuhan.
Dia biasa berangkat dan pulang sekolah bersama temannya, Bulan. Rumah Bulan berada di sebelah timur rumahnya.Â
***
Siang hari, di akhir bulan November. Mentari dan Bulan pulang sekolah. Kebetulan cuacanya mendung.
"Sebentar lagi hujan, Tari. Yuk jalan lebih cepet!" ajak Bulan.
"Oke!"
Mereka berjalan terburu-buru. Khawatir kalau kehujanan nantinya. Kebetulan mereka tak membawa payung atau mantel.Â
Sesampai di depan rumah Bulan, mereka berpisah. Ketika langkah kaki Mentari semakin dekat dengan rumah, dilihatnya sebuah motor warna biru yang tak asing baginya. Motor Paman Nur! Motor itu terparkir di dekat motor Bunda.Â
Dia bergegas menuju pintu rumah. Perasaannya sangat bahagia karena sudah lama dia tidak bertemu Paman Nur. Begitu sampai teras rumah, dia langsung mengucapkan salam. Dari arah ruang tamu terdengar suara Paman Nur yang menjawab salamnya.
"Wah, kamu sudah tambah gede, Tari."
"Iya, Paman."
Mentari duduk di samping Paman Nur.Â
"Eittt. Kamu ganti baju dulu, Tari!" Paman Nur mengingatkan Mentari.
***
"Paman, nanti menginap di sini kan?" tanya Mentari.
"Nggak, Tari. Untuk hari ini Paman harus segera pulang. Nggak nginep dulu."
Mentari sangat kecewa.Â
"Aku kan kangen sama Paman. Kok malah nggak nginep sini."
Paman Nur tersenyum.
Memang Mentari sangat menyayangi pamannya itu. Paman biasanya mengajaknya membuat sesuatu yang unik-unik dari barang-barang yang dibawa dari kampungnya. Membuat wayang dari tangkai daun ketela, topi dari daun nangka dan masih banyak lagi. Paman juga sering membawakan oleh-oleh kesukaannya yaitu buah kelengkeng.
"Paman kan sekarang ngurusi ternak bebek. Bulikmu nggak bisa kalau mengurusi sendiri. Bulikmu repot sama Dik Raffa."
Dik Raffa itu anak Paman Nur atau saudara sepupuku. Anaknya lucu, pinter, ganteng dan menggemaskan.Â
"Paman beternak bebek?"
Paman mengangguk. Lalu bercerita kalau usaha ternaknya semakin sukses. Telur-telur bebek dari peternakannya bisa dijual ke berbagai warung baik di sekitar rumah ataupun tempat lain.
"Nah, Paman tadi bawakan oleh-oleh telur bebek. Kamu bisa bikin telur asin lho."
"Aku kan nggak bisa cara bikinnya, Paman," jawab Mentari.
Lalu Paman Nur mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah buku!
"Kamu suka baca buku kan, Tari?"
Mentari mengangguk.
"Nah, Paman kasih ini ya!"
Paman menyerahkan buku. Judulnya Bikin Telur Asin itu Mudah!
"Paman Nur ke sini kok ngasih oleh-oleh aneh gini sih?"
Paman Nur tertawa keras.
"Kamu akan belajar banyak dari oleh-oleh Paman yang aneh ini lho."
***
Mentari membaca buku dari Paman Nur dan mempraktikkan dalam membuat telur asin. Tentu saja dibantu Bunda. Apalagi saat menyiapkan tumbukan bata merah. Cukup melelahkan untuk menumbuk bata merah agar tumbukannya halus.
Beberapa minggu kemudian.
"Bunda! Aku berhasil!"
Mentari makan dengan lauk sayur lodeh pedas dan telur asin buatannya. Telur asin itu direbus di atas tungku dengan kayu bakar dulu dan didinginkan.Â
"Gimana rasanya, Tari?" tanya Bunda kepada Tari.
Tari yang sedang mengunyah hanya mengacungkan dua jempol tangannya. Tari sangat senang, oleh-oleh dari Paman Nur sangat berharga baginya.
"Ternyata bikin telur asin itu mudah ya, Bunda!"
___
Branjang, 30 November-2 Desember 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H