Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Buah Tin untuk Ibu

9 November 2023   21:19 Diperbarui: 9 November 2023   21:27 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: dokpri 

Ibu yang berharap bisa menunaikan ibadah haji dan tinggal menunggu waktu beberapa bulan saja untuk ke tanah suci, ternyata tak diizinkan oleh Allah untuk ke sana. Sekalipun biaya haji sudah lunas.

Sebentar. Kau jangan salahkan Kementerian Agama beserta jajaran yang mengurusinya. Mereka tak bersalah. Sekali lagi Allah Maha Penentu, meski manusia punya rencana yang rapi dan teliti. 

Tidak berangkatnya ibu ke Mekkah murni karena sakit. Pagi-pagi menjelang Subuh, ibu terkena stroke. Tiba-tiba saja Ibu tak bisa berdiri, setelah melaksanakan shalat tahajudnya.

Untung saja waktu itu aku dan saudara sudah bangun tidur juga. Jadi ketika ibu memanggil kami, kami bergegas ke kamar ibu. 

Ketika ibu cerita kalau tak bisa berdiri, aku dan saudara mencoba membantunya. Namun tak berhasil. Akhirnya suami kubangunkan dan kuajak ke kamar ibu. Oleh suamiku, ibu diangkat dan ditidurkan di tempat tidurnya.

Kubaluri kaki dan tangan ibu dengan minyak lawang, minyak kayu putih. Dengan harapan, ibu bisa segera berdiri. Namun lama kelamaan suara ibu semakin tak jelas, pelo. Di saat itulah aku yakin kalau ibu stroke.

Singkat cerita, ibu dibawa ke sebuah rumah sakit swasta Islam di Yogyakarta. Selama dua mingguan ibu dirawat di sana. 

Ketika ibu keluar dari rumah sakit, terapi bicara, dan terapi gerak terus dilakukan. Kami mengundang terapis dari rumah sakit umum daerah untuk memberikan terapi ibu. Kami sengaja mengundang terapis karena merasa kasihan kalau ibu diajak ke Rumah Sakit Umum Daerah. Terapi di sana sudah pasti antri lama.

Di saat ibu diterapi, aku dan saudara pasti berada di sampingnya. Memerhatikan cara terapinya, biar kami bisa memaksimalkan terapinya. 

Urusan makan pun kami pantau terus. Masakan dengan sejimpit garam kami siapkan. Itu kadang membuat ibu protes, masakan nggak enak, begitu komentarnya. Tak kami pedulikan keluhan ibu, demi lekas pulihnya ibu. 

Selain memantau makanan, secara rutin tekanan darah ibu kami cek. Alat tensimeter kami beli untuk mengecek tekanan darahnya. Dengan begitu kami lebih tenang dan bisa memberikan pengertian kepada ibu kalau makan diatur, pasti tekanan darah akan stabil.

Terapi demi terapi, termasuk diet makan terus dilakukan. Meski ibu mengeluh kalau makanan tak enak dan hambar. Alhamdulillah, akhirnya kondisi ibu menjadi lebih baik.

Dari waktu ke waktu, ibu melakukan aktivitas ringan seperti membaca, jalan ke teras rumah menggunakan tongkat, berjemur di pagi hari. Dan yang pokok, ibu lebih getol dalam shalat, puasa, zakat dan shadaqah. 

***

Setelah ibu mulai membaik, aku bersama suami dan anak tak lagi tinggal di rumah ibu. Semenjak menikah, kami memang menumpang di rumah ibu. Namun, pada akhirnya, kami membeli tanah delapan ratus meter persegi dan mulai mendirikan rumah. Tak jauh dari rumah ibu.

Meski rumah belum selesai seratus persen, kami nekad tinggal di sana. Dari seluruh luas tanah, enam puluh persennya masih kosong. Oleh suami, lahan kosong itu ditanami tanaman buah. Kelengkeng, mangga, alpukat, dan pepaya. 

Kemudian, suami tertarik untuk membeli bibit buah Tin dari temannya. Bibit buah Tin dirawat dengan baik. Namun butuh kesabaran dalam memanen buah Tin matang.

Pertama kali berbuah, dalam satu pohon Tin yang mungil, hanya ada satu biji. Tentu saja aku sangat senang, pohon Tin bisa berbuah. Saat matang, suami memetik dan memberikan padaku.

"Buah Tin-nya buat ibu ya, Mas. Pasti ibu senang bisa menikmati buah ini," ucapku saat menerima buah kecil bulat itu.

Kubawa dan kuserahkan buah Tin matang kepada ibu. Kuingat, ibu sangat takjub saat buah Tin yang mulai memerah keunguan itu kuserahkan.

"Ini benar buah Tin?" tanya ibu.

Aku mengangguk. Binar bahagia sekaligus haru hatiku saat ibu bisa menikmati buah Tin itu.

Kurasa, ibu hanya menikmati satu biji buah Tin sampai akhir hayatnya. Di saat kepergian ibu, buah Tin berbuah cukup lebat, meski matangnya tak berbarengan. 

___

Branjang, 9 November 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun