Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Nomine Best in Fiction Kompasiana Awards 2024 Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kutu Rambut Rema

20 Oktober 2023   19:44 Diperbarui: 20 Oktober 2023   19:47 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: shopping.tribunnews.com

Rasanya untuk waktu-waktu ini, jarang sekali anak yang rambutnya menjadi sarang kutu. Tak seperti zaman dulu. Saat masih kecil, dijamin anak sekelas harus merasakan penderitaan, kepala gatal-gatal dan rambut lengket karena kutu rambut.

Kalau sudah seperti itu, pasti sepulang sekolah, anak-anak akan disisir suri oleh ibu masing-masing. Sisir suri itu sisir rambut khusus untuk menyingkirkan si kutu rambut yang membandel. 

Hampir setiap sore, para ibu berlomba-lomba berburu kutu si anak. Termasuk ibu yang konsentrasi penuh untuk menyingkirkan kutu rambut di kepalaku. 

Saking kesalnya ibu pada sang kutu rambut, rambut tebalku harus dipangkas. Potong seset. Potongan pendek yang menyerupai potongan rambut anak laki-laki. Tentu aku kesal sekali. Rambut panjangku tinggal cepak. 

Bagaimanapun aku kepingin rambut panjang seperti rambut teman-teman. Tetapi ibu tak bisa dilawan. 

Dengan santainya ibu bilang kalau lebih baik aku berambut pendek daripada kutuan. Bagi ibu, rambut panjang terlihat jelek akibat telur kutu rambut atau anak kutu yang menempel erat di rambut.

Hmmm, hari gini aku mengenang rambut kutuan. Sudah pasti ada penyebabnya. Tak lain dan tak bukan karena anak perempuanku dan sepupunya juga merasakan deritaku di masa kecil. Kena kutu rambut! Agak geli juga saat mengetahui itu. 

Rasanya aku ingin melakukan hal yang sama bagi anakku, Rema. Rema diambil dari gabungan nama bunda dan ayahnya. Renita dan Mahardika. Semula aku agak protes karena nama anak tak punya arti apapun. Ternyata suami bilang kalau Rema itu artinya rambut.

Sewaktu kecil, rambut Rema memang cukup tebal. Sampai kini, rambut Rema tetap tebal dan indah. 

"Persis rambut bundanya," itu yang diucapkan Eyang Uti-nya Rema.

Mas Mahardika hanya tersenyum. Diingatnya saat pertama kali melihat rambutku, dia begitu takjub. Maklum, dia tahu penampilanku tanpa jilbab saat sudah menikah.

***

"Rambut Rema dipotong pendek saja, Yah!" usulku. 

Aku bisa merasakan kekesalan ibu saat aku kutuan di masa kecil.

"No way! Nggak boleh!"

"Kasihan Rema. Rambutnya lengket dan jelek gitu".

"Halah, biarin saja. Nanti aku yang metani kutu Rema," ucap suamiku.

Tak berapa lama, Mas Mahardika memanggil Rema. Dia asyik metani atau membersihkan kutu dan telurnya dari rambut putri tercintanya. Sesekali mereka tertawa bersama.

___

Branjang, 3 Oktober 2023

Cerpen masuk dalam buku dengan judul Rema.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun