Sejak kecil, aku tak begitu dekat dengan sosok lelaki yang menjadi pendamping ibu, bapakku. Entah kenapa, ada jarak yang jauh dengannya.Â
Bapak sangat berbeda saat di rumah dan di tempat kerjanya. Saat berhadapan dengan anak didiknya, bapak bisa dekat. Informasi itu kudapatkan dari orang tua siswa yang diajar bapak. Di mana tak ada sikap galak atau suara keras bapak di sana. Sering bercanda dalam pembelajaran agar kelas nyaman. Maka, kalau aku bercerita betapa galaknya bapak saat di rumah, mereka tak bakalan percaya.
Sudah kukatakan tadi, sikap bapak berkebalikan saat di rumah. Beda seratus delapan puluh derajat. Begitu kaku, galak dan tak bisa menjadi pengayom yang baik. Setidaknya itu yang dirasakan anak-anak, termasuk aku.
Jangan tanyakan kalau waktu penerimaan rapor setiap catur wulannya. Saat aku bersekolah, dari tingkat SD hingga SMA, rapor dibagikan setiap catur wulan. Sehingga dalam satu tahun pelajaran, laporan hasil belajar diberikan tiga kali.
Saat pembagian rapor itulah bapak yang ke sekolah untuk mengambil raporku. Mungkin antara ibu dan bapak membagi tugas. Ibu berperan saat pendaftaran ke sekolah baru, mencarikan kos, nah kalau bapak menerima hasil belajarku.
***
Saat usia SD.
Bapak yang selalu melihat kakak sulungku selalu berprestasi, langsung murka begitu menerima dan mencermati hasil belajarku. Baik nilai maupun rankingnya.Â
Waktu itu memang nilai bagus dan mendapatkan ranking pasti menjadi kebanggaan orang tua. Siapapun pamer kalau anaknya berprestasi. Dan aku bukanlah anak yang berprestasi. Tak bisa dipamerkan.
Aku memang tak menjadi anak kebanggaan bapak sedari kecil. Aku selalu merasa dianaktirikan oleh bapak. Karenanya aku tak peduli kalau nilai raporku jelek semua.
Hukuman sudah pasti kudapatkan. Tak boleh menonton televisi, mendengarkan radio atau menyetel kaset seperti biasa. Padahal, kalau dibandingkan dengan teman-teman seangkatan, aku termasuk anak yang cupu. Tak tahu tayangan televisi yang begitu viral waktu itu.
Radio atau tape recorder dikunci di lemari kaca yang ada di ruang tamu. Aku hanya melihat dengan sedih. Aku hanya punya hiburan seperti itu, tak seperti teman-teman lain. Pada akhirnya aku cuek.
Sudahlah, aku tak ambil pusing. Tak diizinkan menonton televisi, mendengarkan radio atau menyetel tape recorder, aku bermain di depan sekolah. Bersama teman-teman, aku bermain rumah-rumahan.Â
Dengan bermain itu, aku merancang rumah impian di masa kecil. Modalnya hanya patahan penggaris atau gedhek. Lalu asyik menata lapangan sekolah yang masih berlapis pasir kali.
Pasir kali itu kami ambil dari kali yang tak jauh dari sekolah setiap hari Jumat. Berbekal ember, semua siswa ke kali. Menjinjing ember yang terisi pasir yang masih bercampur air.
Tentunya sangat berat bebannya. Tak jarang telapak tangan melepuh atau lecet karena membawa beban pasir basah sampai sekolah.Â
Kembali ke cerita membuat rumah-rumahan. Meski panas terik, aku dan teman-teman bersemangat. Tak aku ingat lagi teriakan bapak atau wajah kakunya karena raporku jelek.
Aku sering merasa iri dengan teman karena ayah mereka tidak galak seperti bapakku. Bapak mereka begitu sayang. Bisa memerhatikan anak-anaknya dengan baik, meski kalau dilihat statusnya bukanlah pegawai seperti bapakku.
Ingin rasanya memiliki bapak yang penuh kasih sayang. Dan seiring berjalannya waktu, keinginan itu tak aku dapatkan. Aku hanya mendapatkan kasih sayang dari ibu. Ya meski kadang ibu juga sering marah, tetapi aku lebih menyayangi ibu.
Galaknya bapak tak hanya anak-anak yang merasakan. Aku sering mendengar bapak berkata dengan suara keras kepada ibu. Ibu tak banyak bicara.
Tetapi aku ingat, saat aku kelas tiga SD, ibu tak pernah keluar kamar tidur yang biasa digunakan untuk saudara kalau bertamu ke rumah. Selama beberapa hari ibu hanya mengurung diri dalam kamar itu dalam keadaan gelap.
Pernah kutanyakan kepada bapak, ibu kenapa. Tak ada jawaban yang kudapatkan. Hingga suatu saat akhirnya ibu keluar dari gelapnya kamar tadi. Bukan wajah cantik yang penuh senyum yang kutemukan. Ibu yang biasa terlihat cantik, kulihat bermata sembab. Rasanya aku semakin penasaran. Kalau aku bersalah kepada ibu, aku yakin tak akan seperti itu sikapnya.
Aku hanya mengira-ngira kalau ibu sakit hati dengan ucapan bapak. Dalam perjalanannya, saat aku semakin paham dengan perbedaan mencolok antara ibu dan bapak, aku pernah berpikir ingin bersama ibu saja kalau sampai mereka bercerai. Alasanku, aku tak nyaman dengan sikap bapak. Itu saja.
***
Di masa remaja hingga dewasaku, bapak tak juga berkurang sikap dan bicara kasarnya. Bahkan saat malam takbiran Idul Fitri, konflik dengan bapak semakin meruncing. Aku sedih, waktunya untuk bersuka cita dalam menyambut kemenangan di hari lebaran di mana manusia menjadi fitrah, kami malah berselisih. Ribut tak karuan.
Aku merasa, baik puasaku maupun puasa bapak hanya mendapat laparnya dan capeknya saja. Jangankan Lailatul Qadar, suasana adem di hati jarang kudapatkan saat malam Idul Fitri.
Orang tua memang guru pertama bagi anak. Jadi, aku merasa mendapatkan pelajaran yang serupa dari bapak. Tak mau mengalah. Hingga bertengkar dengannya. Menyebalkan sekali.
Lucunya, bapak sering merasa kalau sudah menjadi bapak yang baik. Selalu memerhatikan anak-anaknya. Itu dikatakannya belum lama ini kepada suamiku. Aku dan anak-anak mendengar ucapan itu.
Dalam hati, aku menyangkal ucapan bapak karena selama ini perhatian bapak sangat jarang kudapatkan. Tetapi aku memutuskan untuk diam. Kalau kusanggah ucapan bapak, sudah pasti akan konflik lagi. Aku tak mau kalau anak-anakku melihat ibu dan simbahnya bertengkar.Â
***
Akhir-akhir ini, di usia senjanya, bapak sering curhat kalau tak punya gairah hidup lagi. Pada awalnya aku kurang paham, apa yang menjadi alasannya. Ternyata bapak mengalami puber kedua.
Ibu sudah tiada. Lalu bapak menemukan kenyamanan lagi dengan seorang perempuan. Aku menarik kesimpulan itu setelah Bulik bercerita. Bulik bercerita kalau bapak merasa seperti ditinggal ibu, saat perempuan yang disukai bapak tak lagi ditemuinya.
Aku dan saudara-saudara sangat prihatin. Di masa mudanya bapak tak dekat dengan kami. Lalu di masa tuanya, jarak itu tetap ada. Singkat cerita bapak merasa kesepian dan menemukan kebahagiaan saat ada perempuan itu. Namun karena sesuatu hal, perempuan itu harus pergi dari kampung kami.
Akibat perginya perempuan itu dari kampung kami, bapak semakin kurus kering dan seperti orang kebingungan. Sampai-sampai bapak harus kami ajak berkonsultasi ke psikiater.Â
Di sana bapak mengaku kalau ada banyak hal yang membuat semangat hidupnya turun drastis. Mulai dari meninggalnya ibu, ditinggal teman yang dia rasa dekat dengannya. Sampai merasa takut kalau rumah akan diobrak-abrik keluarga temannya itu. Entah apa yang mendasari pemikiran bapak.
Yang jelas, aku paham siapa yang dimaksud bapak tentang temannya yang meninggalkannya. Dia adalah perempuan yang disukai bapak.
"Barang-barang pentingnya tolong diamankan," tiba-tiba bapak mengagetkanku.
"Apa yang diamankan, pak?" Selidikku. Aku merasa tak perlu mengamankan sesuatu. Ada penjagaan Allah yang lebih aman.Â
Itu salah satu ketakutan berlebihan dari bapak. Tak kurang-kurangnya aku dan saudara-saudara menasehati bapak untuk terus mendekat kepada Allah. Membaca Alquran dan perbanyak shalat sunnah. Seperti yang dilakukan ibu di penghujung waktunya di dunia. Bukan memikirkan hal duniawi lagi. Namun nasehat kami hanya diiyakan saja oleh bapak.
Saat berkonsultasi ke psikiater, kami mendapatkan penjelasan bahwa bapak tak bisa membedakan antara hal yang nyata dan yang tidak. Jadi wajar kalau bapak merasa takut jika rumahnya akan diobrak-abrik. Kemudian bapak kebingungan dan mudah lupa. Menurut psikiater itu karena faktor usia di mana volume otak semakin berkurang.Â
Apalagi segala hal dipikir. Itu membuat stress dan kalau dalam keadaan sedih, bapak pasti semakin membuat depresi. Kami harus siap dengan sikap kekanakan bapak di tengah sibuknya memikirkan dan menyekolahkan anak.
Kami sadar kalau asal muasal dropnya bapak karena larangan kami kepada bapak yang selalu memikirkan perempuan lain. Itu tak diceritakan kepada psikiater. Kalau psikiater tahu hal itu, pasti akan mengarahkan kami, anak-anak bapak, untuk mendukung bapak jika mau menikah.Â
Sebenarnya kami tak masalah kalau bapak mau menikah lagi. Yang membuat kami tak setuju, bapak menyukai remaja belasan tahun, usianya sepantaran dengan salah satu cucunya.
Branjang, 3-5 Mei 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H