***
Sekitar pukul empat sore.
"Rana, kamu segera bersiap-siap, nak!" Ibu mengingatkanku kalau nanti bakda Maghrib, di hari ketujuhbelas bulan Ramadan tahun ini aku akan dilamar.
Aku sempat memprotes rencana lamaran di waktu bulan Ramadan seperti ini. Aku tak mau kalau lamaran hanya akan membuat kami semua lalai akan shalat Maghrib, Isya dan tarawih.
"Lamarannya sebentar, Rana. Calon suamimu bersama rombongannya datang ke rumah habis Maghrib. Sekarang mereka sudah berada di masjid. Mereka shalat Asar dan Maghrib di sana. Lalu setengah jam-an berikutnya mereka ke sini," terang ibu.
Ibu memintaku untuk berpenampilan yang rapi. Berbagai nasehat untuk menjaga sikap saat bertemu lelaki yang melamarku dan rombongannya, terucap dari bibir ibu. Aku hanya mengiyakan saja.
Mendekati pukul lima sore, aku dan ibu sibuk menyiapkan aneka hidangan buka puasa dan hidangan untuk menyambut rombongan calon suami di ruang makan. Kami masih melanjutkan pembicaraan tentang acara lamaran yang akan kami lalui jelang Isya nanti.
Tak berapa lama, suara adzan Maghrib terdengar. Aku segera meneguk air putih di atas meja makan untuk membatalkan puasa di hari ketujuhbelas ini. Namun, sesaat kemudian, aku menunda untuk mengambil kurma yang tersaji di atas meja. Kudengar suara muadzin yang mengumandangkan adzan seperti tak asing di telingaku.Â
Aku keluar rumah untuk menyakinkan suara muadzin yang kudengar. Telingaku tak salah dengar, suara adzan itu adalah suaramu. Dulu, kalau kau ke sini pasti adzan di masjid kampungku.
Yang membuatku heran dan galau saat ini, kenapa suaramu kudengar lagi, saat aku akan dilamar lelaki pilihan bapak dan ibuku. Kenapa kau muncul lagi, Pras?
"Rana, masuk! Nggak elok kalau perawan di luar rumah saat petang seperti ini!" Suara ibu terdengar dari dalam rumah. Aku bergegas masuk rumah.Â