Kau mengangguk. Lalu terdiam. Sampai akhirnya kau berpamitan.Â
***
Aku tak percaya kalau aku akan dijodohkan dengan lelaki yang tak kukenal. Tetapi, kabar itulah yang kudengar dari ibu. Aku tidaklah dipingit seperti perempuan masa lalu, tapi mengalami nasib dijodohkan.Â
Benar yang kukatakan tadi, tak ada rumus atau kamus pacaran kan? Langsung saja anak pak Sugeng mau dilamar.Â
"Ibu dengar lelaki itu baik, Rana." Ucap ibu dengan suara lembut. Orang tuaku memanggilku Rana, bukan Kirana, seperti kau menyapaku.Â
"Dia dari keluarga yang baik dan jelas bibit, bebet dan bobotnya," ibu melanjutkan keterangannya. Namun petuah perempuan teristimewa bagiku itu nyatanya tak menenangkan hatiku.
"Tapi, Bu. Aku belum siap menikah," jawabku. Sebuah jawaban yang menyiratkan penolakan atas rencana bapak dan ibu.
Zaman sudah begitu maju, kenapa aku harus dijodohkan? Bukankah itu sangat aneh?Â
"Kau jangan beranggapan kalau perjodohan itu menyiksamu, Rana. Toh ibu sama bapakmu dulu juga dijodohkan. Bisa saling mencintai dan menjaga. Sampai kau dewasa seperti saat ini".
Ibu benar. Mereka memang sepasang suami-isteri yang dulunya dijodohkan oleh kakek-nenekku. Kudengar sendiri kisahnya dari nenek, saat aku masih kecil. Belum begitu memahami perasaan jika dua insan yang tak saling kenal bisa bertahan dalam biduk rumah tangga.
***