Sejak mendengar niatan perjodohanku, aku tak melakukan kontak apapun denganmu. Aku takut dengan hatiku. Aku takut kalau sebenarnya sosok lelaki idaman itu kutemukan pada dirimu.
Sebenarnya, ada rasa ingin tahu keadaanmu. Tetapi selalu kubuang rasa ingin tahuku akan dirimu.Â
Akupun menyadari kalau sejak pulang dari rumah ibu-bapakku, kau tak menyapaku seperti biasa kau lakukan. Ya, kau menjauhiku. Mengirim pesan lewat WhatsApp, telpon, atau video call tak lagi kau lakukan. Mungkin saja kau dinasehati macam-macam oleh bapak saat kau berpamitan tempo hari.
Ya sudahlah. Kuharap kau memaafkan ucapan tak mengenakkan dari bapak jika memang itu lahir dari bibir bapak.Â
***
Kutenggelamkan diri pada hobiku, menulis. Kau jangan mengatakan kalau aku terinspirasi dengan Kartini, tokoh emansipasi wanita itu. Aku dan Kartini jelas jauh berbeda.Â
Apa yang kutulis? Tulisan yang berisi curahan hati dan beberapa ayat suci Alquran yang kuanggap bisa menenangkan hatiku dan mewakili perasaanku. Kurasakan hatiku galau. Namun dalam perjalanannya, aku harus belajar percaya bahwa memang aku akan mendampingi lelaki pilihan ibu-bapak.
Dari kegelapan menuju cahaya. Sekilas ungkapan yang muncul itu sama seperti judul buku Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang. Tetapi, ungkapan itu kuambil dari terjemah potongan ayat dalam Alquran. Kembali ke tulisanku, hanya mencurahkan isi hati saja. Dan itu tak seberat curahan hati Kartini dulu yang dikirimkan ke sahabatnya. Â
Dari ungkapanku tadi, aku tak ingin hatiku gelap sehingga tak bisa menerima cahaya Illahi yang mungkin saja dititipkan lewat lelaki, calon imamku.
Mimpiku, lelaki yang menjadi imamku bisa menjadi penerang, sekaligus penuntun untuk menuju surga. Langgeng dunia-akhirat. Mimpiku berlebihan sekali. Aku sadar itu.Â
Jika kau mengetahui keadaanku saat ini, aku tak tahu, apa yang akan kau katakan. Dan rasanya aku juga tak perlu mengabarkan ini padamu. Aku tak penting untuk curhat padamu. Biarpun kau memberikan solusi, takkan mengubah keputusan bapakku.Â