Aku ambil air wudhu. Kumohonkan segala dosa dariku yang melekat di telapak tangan hingga kaki bisa luruh bersama terjatuhnya air wudhu. Seraya kuberdoa untuk ketetapan hatiku, bagaimanapun tak ada orang tua yang akan menjerumuskan anak perempuannya untuk sembarang lelaki.
***
Di depan kaca rias kamarku, kuperhatikan wajahku yang berbeda dengan wajah beberapa puluh tahun yang lalu. Kusadari, aku akan segera dipinang lelaki. Namun, sekali lagi, di bulan yang mustajab untuk terkabulnya doa-doa, aku memohon lelaki itulah yang bisa menuntun ke terangnya hidup, membawaku sampai surgaNya.
"Jika memang lelaki itu ibu anggap terbaik untuk Rana, Rana hanya manut, Bu." Ucapku saat ibu memastikan apakah aku bersedia untuk menjadi calon isteri dari lelaki pilihan ibu dan bapak.
"Kalau begitu Alhamdulillah, Rana."
Ibu tersenyum dan mengajakku ke ruang tamu. Di sana ada banyak orang. Namun tak kutemukan lelaki muda yang sepantaran denganku. Yang kulihat, mereka lelaki berumur.Â
Aku mulai was-was, jangan-jangan aku dijodohkan dengan lelaki yang sudah tua. Aku membalikkan badan dan bersiap ambil langkah seribu. Namun ibu menahanku.
"Apa kau tak mau tahu calon suamimu, Rana?" Bisik ibu.
Ibu membalikkan tubuhku. Aku terpaksa mengikuti arahan ibu. Aku sudah dibriefing bagaimana untuk bersikap tadi sore.
Kutundukkan kepala. Aku tak siap melihat calon imamku sama sekali. Aku takut dan gugup!
Tanganku dingin. Jemariku memilin-milin ujung jilbab yang kukenakan. Aku terus melangitkan doa, semoga calon suamiku bisa menuntunku dari kegelapan menuju cahaya. Siapapun dia.