Jamaah di masjid pak Samto memang bubarnya agak siang. Kultumnya lebih lama dibandingkan dengan masjid tempatku shalat setiap hari.
"Pak, mau minta jambunya ya!" Ucap Amin, mewakili kami semua.
"Lah, apa kowe padha ora pasa?" (Apa kalian tidak puasa?)
"Nggih pasa, pak. Jambune mangke dimaem pas Maghrib," jawab kami. (Puasa, pak. Jambunya mau dimakan nanti Maghrib, pak)
"Oalah. Iya. Kono dho opek. Nanging pilih sing wis tuwa lan mateng ya! Ben ora mubadzir," nasehat pak Samto. (Iya. Kalian petik saja. Tapi kalian pilih yang sudah tua dan masak ya! Biar tidak mubadzir)
Segera kami menunjuk dan berebut memilih jambu air yang sudah tua dan matang. Salah satu teman laki-laki, Esan, memanjat pohon jambu air lalu memetikkan buah jambu air yang sudah dipilih sendiri-sendiri oleh kami.
Dari atas pohon, Esan melemparkan buah jambu yang sudah dipetik tadi. Tak jarang jambu itu meleset saat mau ditangkap. Jadi, jambunya hancur saat menyentuh bebatuan di bawah pohon jambu air. Ada rasa kecewa juga saat kami gagal menangkap jambu air yang dilemparkan dari atas pohon.
"Le nyathok nganggo sarungku wae!" Usul mas Zezen. (Kita tangkap dengan sarungku saja!)
Mas Zezen mengambil sarung yang dikalungkan menyilang di lehernya. Lalu sarung itu dihamparkan dan dipegangi bersama mas Manto dengan posisi berdiri.
Hasil kerjasama itu Alhamdulillah tidak mengecewakan. Buah jambu air tidak hancur akibat jatuh di bebatuan yang masih lancip. Barulah buah itu dibagi sama rata oleh mas Udin.Â
Mas Udin itu sudah SMA, bisa membagi buah jambu secara adil kepada aku dan teman-teman.