Jalan berbatu kulalui bersama teman-teman saat pagi hari. Tepatnya setelah selesai melaksanakan shalat Subuh berjamaah kami jalan-jalan pagi. Masih dengan mukena menutupi tubuh. Atau sarung dikalungkan ke leher dengan posisi menyelempang bagi anak laki-laki.
Sebenarnya tak hanya anak-anak saja yang jalan-jalan pagi setiap bulan Ramadan tiba. Ada beberapa pemuda dan orang tua yang ikut juga.
Suasana udara di desa tentu sangat segar. Tidak terlalu dingin, meski daerah kami termasuk di antara bukit dan pegunungan ketinggiannya. Maksudku, daerahku kalau dikatakan sebagai perbukitan tidak masuk karena ketinggian melebihi bukit. Pegunungan pun tidak karena ketinggiannya tak seperti pegunungan.
Menyusuri jalan yang masih lumayan gelap oleh kabut tak menyurutkan langkah kaki kecil kami. Apalagi saat Ramadan, kami sekolah agak siang. Jadi kami agak santai. Sambil bercanda ria, bercerita tentang makan sahur kami, rencana buka puasa dan sebagainya. Puasa baru beberapa jam tapi sudah merencanakan buka puasa. Heheheh. Tapi itulah asyiknya kalau puasa Ramadan.
Makanya saat jalan-jalan pagi itu tidak sedikit anak-anak yang sudah mengumpulkan aneka buah dari pohon-pohon yang ditanam dan tumbuh di sisi kanan-kiri jalan. Pastinya, kami minta izin kepada pemilik dulu untuk memetik buah-buah itu.Â
"Ayuk, kita minta buah jambu air buat buka puasa nanti Maghrib," ajak Toni.
"Siapa yang mau minta izin pak Samto?" Tanya Topa.
Pak Samto itu guru Matematika di SD kami. Beliau tegas tetapi tetap ramah dan baik hati kepada murid-muridnya.
"Aku saja yang matur (bilang) pak Samto," ucap Amin.
Bertepatan dengan ucapan Amin, pak Samto yang memiliki pohon jambu air baru sampai rumah. Beliau masih mengenakan peci, bersarung dan meletakkan sajadah di pundak kanannya.Â