Segala persiapan untuk lamaran sekaligus ijab kabul sudah mendekati seratus persen. Sama sekali aku tak merasakan bahagia. Aku malah memikirkan bagaimana hubunganku dengan Aldo, lelaki idaman yang sangat kucintai.
Aku harus meluangkan waktu untuk menemui dan berbicara dengan kekasihku itu. Bagaimanapun aku sangat mencintainya.
Namun aku harus sabar. Aku harus rela menantikan waktu luang. Waktuku lebih banyak untuk membeli cincin, menemui event organizer, butik langganan keluarga.
Untuk keperluan itu semua, calon suami pilihan orang tuaku setia menemani. Biar kami bisa semakin kenal satu sama lain, kata ibu. Huft, ibu tak tahu, semakin sering bersama lelaki itu malah membuatku semakin kesal. Bagaimana dengan lelaki itu?
Dia tak ambil pusing dengan sikap dinginku.
"Aku niatkan untuk ibadah dan membantu orang tuamu," itu yang diucapkan lelaki itu saat aku kesal dan bertanya alasannya kenapa mau menikahiku. Padahal banyak perempuan shalihah yang bisa dipilihnya.
"Ada sih, mbak Bintang. Tapi kurasa membantu orangtuamu lebih kupilih".
Huhhh! Lelaki apaan dia? Tinggal menolak saja kan gampang. Pemikirannya juga agak nyleneh. Orang sepertinya pasti ingin rumah tangganya penuh dengan nilai-nilai agama yang bisa didapatkan dari perempuan shalihah.Â
Aku tak merasa cocok. Aku lebih cocok dengan Aldo. Titik!
**