"Kamu jangan memaksakan diri, Habibah". Lelaki yang baru saja pulang dari kerja itu menasehatiku.
Mulai hari ini aku memang belajar melaksanakan puasa sunnah. Inginku, nanti ketika bulan Ramadan tiba, aku tak kaget dalam menjalankan ibadah puasa.
Kamu boleh menertawakan aku. Usia sudah duapuluh lima, tetapi puasa saja sampai pingsan. Aku memang nyaris tak berpuasa selama ini. Meski aku mengaku kalau seorang muslimah. Kamu bisa menebaknya. Iya, aku seorang penganut agama Islam, tapi sebatas pada status di KTP.
Lelaki yang menasehatiku tadi adalah suamiku. Dia menikahiku setahun yang lalu. Boleh dikatakan kalau dia aktivis di masjid.
Semula aku cuek dengan kelakuan dan kebiasaan tidak shalat. Tetapi lama-lama aku jadi malu sendiri. Isteri aktivis masjid, tapi shalat dan puasa saja bolong-bolong.
Karena itu, aku mencoba mengikuti kebiasaan suamiku dalam shalat dan berpuasa. Ya meski shalatku hanya kulakukan di rumah. Tak ikut ke masjid.
Puasa kulakukan tanpa paksaan dari suami. Dia malah menanyakan, apa aku benar-benar serius ingin puasa.
"Nanti kalau nggak kuat, kamu buka puasa kalau sudah lapar ya, Habibah. Kamu latihan saja dulu," begitu nasehat suamiku saat aku ikut sahur.Â
***
Sampai tengah hari, meski perut terasa keroncongan, aku bertekad untuk merampungkan puasa sampai bedug Maghrib tiba.