Mengapa Harus Kamis Pahing?
Berbicara tentang busana kebaya yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, ada sebuah kebijakan dari pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang menarik dan bisa menanamkan cinta kebaya.
Kebijakan itu berupa perintah untuk mengenakan pakaian tradisional setiap Kamis pasaran Pahing. Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 75 Tahun 2016 tentang Pakaian Dinas.
Lalu kenapa yang dipilih hari Kamis? Ini berkaitan dengan sejarah perpindahan keraton dari Ambar Ketawang ke keraton sekarang. (inspektorat.kulonprogokab.go.id).
Siapa saja yang diperintahkan untuk mengenakan pakaian adat ini? Sudah tentu semua pegawai yang bekerja dan bersekolah di instansi pemerintah kawasan DIY serta instansi lainnya di lingkungan DIY.
Ribet tapi Asyik
Kemeriahan di hari istimewa, weton lahirnya Keraton Yogyakarta ini, dirasakan oleh semua warga, apalagi di lingkungan sekolah. Semua sekolah di DIY dari tingkat rendah hingga atas, baik guru-karyawan maupun siswa mengenakan pakaian ini.
Ya meski agak ribet dalam mengenakannya, tapi bahagia tetap terasa. Bagaimana tidak ribet?Â
Pertama, kami para guru karyawan jauh-jauh hari memesan kain lurik yang dikoordinir UPT ---sekarang Korwilbiddik Kapanewon---. Kain lurik dikhususkan untuk warga masyarakat umum di wilayah Yogyakarta. Sedangkan kain bercorak kembang atau bunga hanya untuk bangsawan. Ini yang tidak banyak diketahui orang awam seperti saya.Â
Setelah kain lurik siap, kami harus rela antri menjahitkan ke penjahit di berbagai wilayah kecamatan atau kapanewon setempat. Para penjahit agak kewalahan tentunya karena kami menjahitkan kain lurik hampir bersamaan waktunya.
Jika para guru mengenakan pakaian lurik, para siswa masih diperbolehkan mengenakan kebaya model lainnya.Â
Selain itu, kain batik atau jarik khas Yogyakarta harus disiapkan. Terus terang dulu saya mengira bahwa jarik di Jawa itu sama saja. Ternyata ada perbedaan dalam ketentuan warna dasar dan cara me-wiru jarik.
Jarik yang beredar di pasar kawasan Yogyakarta ada dua model yaitu model Yogyakarta dan model Solo (Surakarta). Jarik Solo-an berwarna dasar kuning, sedangkan jarik model Yogyakarta berwarna dasar putih. Dari informasi yang pernah saya baca, warna dasar itu dibuat beda agar terlihat mana orang yang berada di lingkup keraton Yogyakarta dan Surakarta, maklum waktu itu keraton Yogyakarta dan Surakarta baru saja berdiri, akibat perjanjian Giyanti.
Kemudian cara me-wiru-nya sebenarnya sama, aturan untuk yang putri lebarnya dua jari, sedangkan yang Kakung(pria) lebarnya empat jari. Hanya saja perbedaannya adalah pada sisi lebar paling ujung yang berwarna putih pada jarik Yogyakarta-an terlihat dari luar.
Beda lagi dengan cara wiru jarik Solo atau Surakarta, sisi lebar jarik yang berwarna kuning tidak terlihat. Itu benar-benar saya tahu setelah ada kebijakan dari pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta itu.
Ya, saya belajar banyak dengan adanya kebijakan mengenakan pakaian tradisional kebaya lurik ini. Akibatnya, saya harus belajar dan menularkan cara me-wiru jarik kepada para siswa. Ini menjadi alasan agak ribetnya dalam mengenakan kebaya.
Tentu saja siswa sangat antusias mempelajari cara me-wiru jarik. Jadi mereka tak hanya bisa mengenakan kebaya, tetapi mengetahui aturan dalam menyiapkan jarik untuk njarit.
Keseruan Siswa dan Guru Karyawan di Hari Kamis Pahing
Beberapa hari menjelang Kamis Pahing, pihak Korwilbiddik dan Kepala Sekolah mengingatkan kepada guru-karyawan agar mengenakan pakaian tradisional Jawa. Edaran yang sudah dishare pada awal tahun, kembali dishare di grup sekolah.
Guru lalu meneruskan ke grup Paguyuban (Persatuan) Orang Tua Siswa. Tujuannya agar para siswa bis menyemarakkan hari weton keraton Yogyakarta itu.
Kemudian di hari H Kamis Pahing, tampillah para siswa dan guru-karyawan dengan penampilan kejawen. Ya kami berpenampilan dengan pakaian lurik atau kebaya dan beskap saat berangkat sekolah dan proses pembelajaran di kelas.
Sebenarnya agak gerah. Tetapi karena saat berkebaya siswa berdandan atau make over, maka siswa sangat senang. Siapa sih anak perempuan yang tak senang dengan dandanan cantik dan berlipstik?Â
Saya rasa dari zaman dulu, saat saya masih kecil, kalau didandani cantik dengan make up pasti senang dan keberatan untuk membersihkan wajah. Hehehe.
Cara membumikan pakaian kebaya di Daerah Istimewa Yogyakarta memang cukup baik. Awalnya mungkin ada keterpaksaan, tetapi akhirnya menjadi tradisi yang menyenangkan.
Hari Lain yang diperintahkan untuk Mengenakan Pakaian Tradisional
Selain setiap hari Kamis Pahing, lingkungan DIY memerintahkan pegawai di instansi pemerintah atau instansi lain untuk mengenakan pakaian tradisional Jawa, setiap tanggal 31 Agustus.
Alasan kenapa tanggal 31 Agustus mengenakan pakaian tradisional Jawa karena pada tanggal ini Peringatan Pengesahan Undang-undang Keistimewaan DIY.
Selain itu, Peringatan berdirinya nagari Ngayogyakarta Hadiningrat dan berdirinya pemerintah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, bertepatan tanggal 29 Jumadilawal.
Khusus di kabupaten Gunungkidul, saat merayakan hari jadi Gunungkidul, juga diperintahkan untuk mengenakan pakaian tradisional Jawa gagrag Yogakarta. Tentu di kabupaten lain juga mengenakan pakaian tradisional Jawa saat hari jadinya.
Globalisasi boleh mewabah di penjuru negeri, namun identitas nasional seperti pakaian tradisional harus tetap dilestarikan. Kalau tidak dimulai dari sekarang, mau kapan lagi?
Branjang, 3 September 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H