Tak hanya itu, bapak juga meringankan hutang kakakku ---mbak Sinta, isterinya mas Tedi---. Bapak memberikan pernyataan kalau hutang mbakku yang semula tujuh belas juta menjadi beberapa juta saja. Tak sampai lima juta.Â
Alasannya bapak merasa kasihan sama kakak. Padahal itu sangat tidak adil untuk anak-anak bapak yang lainnya. Lagi pula kakak adalah ASN. Anak lainnya ada yang belum jadi ASN.
"Lha utang sejuta mau buat apa, pak?" Tanyaku penasaran.
"Mau buat servis mobil," jawab bapak.
Ah... sungguh aku tak habis pikir dengan kakak dan iparku. Dulu utang tujuh belas juta untuk membeli mobil, sekarang mau servis saja mau utang lagi.Â
"Terus, njenengan kasih uangnya?" Selidikku.
"Nggak. Aku sudah nggak percaya sama dia." Seru bapak.
"Dulu utang lima juta buat merawat ibunya saja nggak dikembalikan kok. Malah sudah kulunasi. Pokoknya aku nggak percaya lagi sama Tedi."
Aku bersyukur saat mendengar ucapan bapak.
"Lalu kusuruh Sinta yang ke rumah. Kalau Sinta yang utang, aku percaya bisa membayar utang".
Hmmm. Entah apa yang ada di pikiran bapak. Kok ya mbak Sinta dan mas Tedi diberi utang lagi. Sementara utang dulu sudah berkurang banyak. Dan lagi kakak kunilai tak mengindahkan dan menghormati bapak untuk lepas dari pengurus Takmir karena isu tak sedap di kampung. Jarang pula menengok bapak, padahal rumah juga dekat. Begitu ke rumah bapak ya karena urusan dengan uang seperti itu.