Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tak Ada Kabar Berita

25 Agustus 2022   15:31 Diperbarui: 25 Agustus 2022   15:32 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau ingat, saat duduk di bangku SMA kita begitu dekat. Meski sebenarnya tak ada kata sepakat untuk menjalin hubungan istimewa antara kita. Aku dan kau hanya sebatas teman, tetapi dekat. Bukan teman tapi mesra, sebuah status yang dikenalkan oleh Duo Maia.

Kita hanya bicara tentang kesulitan-kesulitan belajar. Jelas aku yang sering bertanya banyak hal padamu. Kau lebih cerdas daripada aku. Ya maklumlah aku masuk SMA juga berangkat dari keberuntungan.

Dulu aku hanya masuk kategori siswa cadangan saat PSB(Penerimaan Siswa Baru). Sekarang istilahnya menjadi PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). 

Terus terang aku tak terlalu banyak berharap bisa masuk SMA favorit di Gunungkidul ini. Makanya aku santai saat waktu yang ditentukan aku harus ke SMA Wonsa untuk mendapatkan kepastian, bisa diterima ataukah tidak menjadi siswa di SMA itu.

Alhamdulillah... Allah memberiku jalan mudah untuk masuk SMA Wonsa. Dan mengenalmu tanpa melihatku sebagai siswi pas-pasan dalam aspek kognitifku adalah sebuah anugerah.

Ya, aku merasa diterima di SMA kita. Tak hanya kau. Teman-teman lainnya pun sangat baik hati padaku. Mau berkawan denganku. Bapak ibu guru dan karyawan pun demikian.

Di SMA, aku masuk Rohis. Entah karena dorongan apa. Yang pasti waktu itu siswi yang berjilbab sudah cukup banyak. Dari kegiatan Rohis inilah bapak ibu guru mengetahui kemampuan pas-pasan dalam bidang agama yaitu membaca qiroah.

Menjadi duta sekolah dalam kegiatan perlombaan keagamaan pun pernah dipercayakan padaku. Tentu kau ingat itu kan? 

Nah kalau dalam bidang keilmuan, aku banyak belajar darimu. Terutama ilmu eksak dan matematika. Aku tertinggal jauh dalam memahaminya. Sungguh aku malu kalau mengingatnya.

Dalam pelajaran seni, aku memilih Seni Musik, padahal aku buta dengan ilmu musik. Alasanku sederhana, aku ingin belajar menggitar. Sungguh alasan yang tidak pas dan itu akhirnya tak terwujud sampai saat ini. Konyol bukan?

Ah iya. Kau pasti ingat kekonyolanku juga. Saat Dwi, kawan sebangkuku, meminta tolong untuk menggambarkan bentuk benda. Kalau tak keliru, materinya siswa yang memilih Seni Rupa harus menggambar benda dalam contoh. 

Mengetahui aku bisa menggambar, Dwi memintaku untuk menggambarkan. Dengan senang hati kubantu Dwi. Kaulah yang protes padaku.

"Jangan digambarkan, Ra! Keenakan Dwi. Nilainya nanti lebih bagus lho!"

"Alaaahhh. Biarin!"

Aku nekad menyelesaikan tugas menggambar Dwi dengan cepat. Sementara kau hanya menggerutu.

Dan setelah kuliah aku paham kenapa kau protes. Sungguh bodoh! Ya aku merasa bodoh. Dengan melakukan itu semua, ranking Dwi lebih bagus daripada rankingku. Sudah menjadi rahasia umum kalau guru Seni Musik mahal dalam memberikan nilai 80. Sementara guru Seni Rupa murah hati. Hiks.

Ya sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Ranking semasa SMA tak perlu kupikirkan lagi. Yang kupikirkan itu kuliah dan bisa bertemu denganmu lagi. 

Masa kuliah kita memang terpisah. Sampai saat ini, saat wisuda hingga aku bekerja. Aku sering tanya pada teman-teman, kau ada di mana, kerja di mana. Pertanyaan tentang perempuan yang dekat denganmu saja yang tak kusebut. 

Entah karena kebodohanku yang kedua atau kesekian kalinya, aku tak berusaha mencarimu. Kaupun seolah tak peduli lagi padaku. Aku pasrah saja. Kau kuliah di perguruan tinggi terfavorit di Jogjakarta, UGM. Sedangkan aku di kampus sempalannya, IKIP lama. Kau pasti tahu itu.

Perguruan tinggi yang sebenarnya tak terlalu jauh, tapi mampu menjauhkan kita. Bahkan saat ada teman seangkatan mau dekat denganku, aku tak peduli. Aku masih memendam rasa padamu. 

Hingga akhirnya kuyakin kalau kau memang tak mau mengenalku hingga kabar darimu pun tak kuterima. Nelangsa. Meski begitu, aku sadar kalau aku harus melanjutkan perjalanan hidupku yang masih panjang.

Sambil kuusahakan untuk mengikuti acara reuni, buka bersama demi bertemu denganmu lagi. Untuk kesekian kalinya aku harus legowo, berbesar hati untuk tak berharap lagi padamu.

Kau menghilang. 

Pelan-pelan, aku berusaha membuka hati untuk lelaki lain. Rian. Kau pasti tak mengenalnya. Dia adalah teman kerjaku di kantor. Dia berusaha keras meyakinkan aku untuk bisa melangkah bersama, membangun rumah tangga.

Kalut. Ya, aku sempat kalut untuk memutuskan apakah aku menerimanya atau menolaknya.

"Aku akan mengenalkanmu dengan ibu bapak dan saudara-saudaraku, Ra!"

Mendengar itu, aku yakin bahwa Rian adalah lelaki yang bisa menjadi imam yang baik untukku. Tak sekadar mengajakku untuk berpacaran. Dia memang dewasa. 

Namun, betapa terkejutnya aku saat sampai rumah Rian dan orangtuanya. Kau tampak ada di sana. Ikut makan bersama. 

"Coba kamu carikan calon isteri buat adikku itu, Ra!" Goda Rian padamu.

Branjang, 25 Agustus 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun