Saat dihakimi, mas iparku ada di samping kakak. Tanpa suara. Aku sendiri tak ke rumah Bulik. Aku terlanjur kesal setelah bertengkar dengan kakak.Â
Sebelum bapak menghakimi kakak, aku meluapkan kekesalanku karena kakak tak peduli dengan saudara dan bapak. Kakak lebih senang berkumpul dengan orang-orang yang sering menyerang bapak. Memang banyak warga, terutama pemuda, yang tak menyukai bapak.
Jujur, aku sebenarnya juga kadang tak suka dengan pendirian bapak. Namun saat orang lain menghina bapak, aku tak terima. Bagaimanapun keadaannya, beliaulah yang turut membesarkanku dan saudara-saudaraku.
Tak lupa aku mengingatkan kakak agar bisa menjaga hati dan tak lagi dekat dengan lelaki beristri.
"Kamu nggak usah ngajari aku!"Â
Aku tersentak mendengar suara itu keluar dari mulut kakak. Ya... aku seorang adik tetapi berani menasehatinya. Tapi kupikir, langkahku tak salah. Masalah ucapanku mau diindahkan atau tidak, aku tak peduli.
**
Aku membuntuti kakak dan lelaki idaman kakakku. Keduanya melajukan motornya bersebelahan. Seolah jalan kampung hanya milik mereka berdua. Kuniatkan membuntuti mereka sampai rumah.
Kulajukan motorku pelan. Dan... mereka berpisah di pertigaan jalan. Lelaki idaman lain kakakku menuju jalan ke rumah. Kalau kakakku entah ke mana.
Aku tak tahu, apa jadinya kalau bapak tahu kelakuan putrinya itu. Bapak tahunya mereka sudah tak ada hubungan lagi.
"Pak, maafkan aku. Aku tak bisa menyampaikan kejujuran tentang yang kulihat sore ini," batinku. Kubayangkan wajah lelaki sepuh yang kian lemah.