Masalah demi masalah, peristiwa demi peristiwa yang kuhadapi membuatku merasa jenuh. Menulis yang menjadi salah satu hobiku pun lama kutinggalkan.
Siapapun di dunia ini pasti menginginkan kebahagiaan. Meski kadang takarannya beda. Ada harta yang membuat bahagia, ada kemudahan dalam berusaha juga sudah membahagiakan.
Kali ini kuceritakan padamu hal yang membahagiakanku ya. Biar aku tak melulu berkeluh kesah atas peristiwa yang kualami. Ya...aku harus banyak bersyukur agar hidup lebih tenang.
***
Tujuh belasan tahun yang lalu banyak guru yang masuk data base untuk pemberkasan menjadi PNS. Aku yang baru beberapa bulan mengajar di sebuah sekolah swasta harus menerima keadaan. Aku tak masuk data base.
Merasa kecewa, sudah pasti. Namun kujalani saja tahap-tahap kehidupan yang diatur olehNya.
Di sisi lain, di balik rasa kecewa, ternyata aku diberikan kemudahan mendapatkan berbagai tunjangan atau insentif. Bahkan PLPG yang meluluskan aku dan dibuktikan dengan diterbitkannya Sertifikat Pendidik. Artinya aku memeroleh Tunjangan Profesi Guru (TPG).
Tak usah kuberitahukan padamu, berapa besaran TPGku. Ibuku saja tak pernah tahu. Meski beliau sempat menanyakan rekeningku.
"Aku ta ndelok tabunganmu,"Â ujar ibuku waktu itu. (Aku mau lihat buku tabunganmu).
Aku merasa tak perlu menunjukkan kepada ibu. Aku tak ingin beliau sedih atau memikirkan kalau TPGku pun masih jauh dari gaji saudara-saudaraku yang PNS.
Aku ingin beliau tahu kalau aku dan keluargaku sudah berkecukupan untuk keperluan menyekolahkan anak dan kebutuhan hidup.Â
***
Bulan Desember ini aku sedikit lega. Aku akan menjadi guru di sekolah negeri. Meski belum tahu juga kapan pemberkasannya.
Kuingat saat mau mengikuti seleksi ASN kemarin, di ruang ujian, aku sempat berpikir, "aku tuh di sini ngapain?".Â
Pikiran itu muncul begitu saja. Di sela-sela mengerjakan soal-soal yang kubaca di monitor komputer SMKN 1 Wonosari.
Aku sudah memiliki sertifikat pendidik, jadi untuk seleksi itu cukup aman untuk nilai teknisnya. Namun aku tak mau hanya bermodalkan sertifikat pendidik.Â
Pertanyaan-pertanyaan yang panjang membuatku berpikir, aku malu kalau perolehan nilaiku di bawah passing grade. Dengan berdebar-debar, aku menutup dan mengakhiri proses seleksi. Kuklik akhiri ujian, beberapa menit sebelum waktu habis. Alhamdulillah angka yang tertera di monitor komputer tak mengecewakan.
**
Empat guru dari sekolahku lulus seleksi ASN. Antara bahagia dan sedih kurasa. Ya...aku merasa menjadi bagian sekolah yang selama ini menjadi tempat pengabdianku. Rasanya tak karuan hatiku ini.
Guru hanya tujuh orang, lepas empat orang. Ahhhh... baru saja sekolahku melepaskan Kepala Sekolah yang baik, lalu disusul anak buahnya. Bisa dikata sekolah itu menjadi milik guru-guru.
"Saya cuma datang dari tempat asing, malah ditinggal pemilik sekolah. Ini gimana Bu?" Kepala Sekolah baru tersenyum. Tapi kuyakin beliau juga galau karena sekolah bisa oleng.
"Insyaallah nanti ada generasi yang lebih baik daripada kami, pak." Timpalku, menanggapi suara hati Kepala Sekolah baru kami.
Baru saja kami saling beradaptasi, tetapi harus berpisah satu sama lainnya. Entah kapan kebersamaan dengan teman-teman kantor akan berakhir. Ada kabar kalau SK diberikan pada awal tahun ajaran baru nanti.
**
Sempat kutanyakan kepadamu bagaimana di majelis dikdasmenmu. Tapi kau juga belum mengetahui berapa guru yang lepas dari persyarikatan.Â
"Kalau mbak gimana?"
"Alhamdulillah lulus, mas," balasku saat kita chattingan.
Kau ikut mengucapkan hamdalah.Â
"Bisa diDPK kan, mbak?"
Aku jelaskan padamu, sepertinya sulit karena sudah milih nama sekolah yang dituju. Sudah by name.Â
"Ya sudah, dijalani dulu..."Â
"Iya, mas. Yang jelas dari tingkat kabupaten sampai pusat mengadakan penelusuran guru persyarikatan yang lulus ASN."
Semoga saja guru-guru terbaikmu masih bertahan di persyarikatan. Tak sepertiku yang rela meninggalkannya dengan berat hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H