Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Nomine Best in Fiction Kompasiana Awards 2024 Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Suka Duka Menjadi Guru bagi Anak Sendiri

16 November 2021   13:44 Diperbarui: 17 November 2021   07:50 1119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang tua mengajari anak mata pelajar di sekolah (Sumber: Shutterstock via edukasi.kompas.com)

Sekitar dua puluh tahunan yang lalu, saya kuliah. Dalam anggapan saya bahwa dosen yang mendidik kami itu punya anak yang selalu manut dan sopan pada ibu atau bapaknya.

"Aku kemarin ke rumah Bu X, putranya kalau bicara nggak pakai unggah-ungguh."

Nggak pakai unggah-ungguh artinya sopan santunnya kurang, bahasanya ngoko. Itupun ngoko yang kasar.

Saya dan teman-teman seangkatan berpikir kalau dosen itu bisa mendidik putranya dengan baik. Ternyata anggapan kami tak sepenuhnya salah. Jadi urip kuwi gur wang sinawang ada benarnya.

Manusia memandang sesamanya dengan pikiran positif, padahal tak selamanya pandangan atau anggapan itu benar adanya.

Di manapun, kemungkinan besar masyarakat menganggap kalau seorang guru bisa dengan mudah mendidik sang buah hati. Nyatanya, sama saja.

Karakter anak yang ngeyel atau sulit dinasehati orang tua itu melekat pada siapapun, entah anak guru atau bukan. Anak cenderung mendengar perkataan orang lain, terutama sang guru.

Sukanya Mengajar Anak Sendiri

Ada yang bilang kalau ingin melihat sekolah yang baik, maka lihatlah di mana anaknya bersekolah. Kalau si anak bersekolah di tempat kerja ibu atau bapaknya, maka kemungkinan besar sekolah itu berkualitas. Pendapat ini tidak sepenuhnya benar, juga tidak sepenuhnya salah. 

Orang tua di manapun ingin anaknya belajar di sekolah yang berkualitas. Secara otomatis maka guru yang menyekolahkan anaknya di tempat kerjanya sudah tau kualitas guru, tenaga kependidikan, sarana prasarana dan sebagainya.

Jadi dengan mengajar anak sendiri di sekolah, secara tidak langsung si guru menunjukkan bahwa sekolahnya tidak boleh dipandang sebelah mata. 

Selain menunjukkan kualitas sekolah, si guru bisa mengikuti perkembangan pendidikan sang buah hati. Memantau anak bukan berarti menjadikan anak guru menjadi anak emas.

Dalam menasehati perilaku anak juga bisa dilakukan saat di sekolah. Hal ini karena anak ketika di rumah layaknya anak lain. Masih kekanakan, terutama jika anak dan guru itu di tingkat dasar.

Ngeyel, sering adu argumen akhirnya uring-uringan. Tak hanya saya yang mengalaminya. Saya yakin ibu atau bapak guru lainnya sampai pusing dalam mendidik anak di rumah.

Ilustrasi mengajar anak sendiri | ragamlampung.com
Ilustrasi mengajar anak sendiri | ragamlampung.com

Nah, pesan untuk patuh pada orang tua bisa disampaikan di sekolah. Bukankah itu cukup membantu dalam mendidik anak, baik di rumah atau sekolah?

Dukanya Mengajar Anak Sendiri

Saya pribadi sebagai guru dan sekaligus orangtua yang anak saya bersekolah di tempat kerja saya sering mengalami dilema.

Saya khawatir jika nanti ternyata saya memperlakukan anak sendiri sebagai anak emas. Kekhawatiran berbuat tidak adil selalu ada.

Namun saat di kelas, saya tegaskan kepada siswa kalau saya kalau menasehati atau mengingatkan anak yang tidak mematuhi tata tertib, tidak pilih-pilih. Marah kepada anak atas perilaku tidak terpuji juga saya lakukan seadil mungkin.

Menganakemaskan siswa saya hindari. Saya tak mau kalau dicap sebagai guru yang pilih kasih, karena itu akan membekas di hati siswa. Setidaknya itu pengalaman adik kelas atau malah saya sendiri yang dulu dipandang sebelah mata dan merasa tidak disukai guru.

Jika anak saya bersalah, saya pastikan saya tegur seperti temannya yang melakukan kesalahan yang sama atau kesalahan lainnya.

Alhamdulillah, Kepala Sekolah sejauh ini menilai saya obyektif kepada siswa. Itu saya ketahui lewat PKG (Penilaian Kinerja Guru). Lega rasanya.

***

Menyekolahkan anak di manapun akan mendapatkan hasil maksimal jika anak mau berjuang untuk mencintai ilmu dan belajar, pantang menyerah.

Kesuksesan tidak harus didapatkan di sekolah favorit. Output dari sekolah non favorit pun bisa sukses. Tinggal guru mau dan bisa menemukan dan mengembangkan kelebihan serta potensi siswa atau tidak. Tak lupa dukungan orang tua atau wali siswa juga sangat berperan dalam mengembangkan bakat anak.

Tak usah risau dengan anak kita yang bersekolah di sekolah non favorit. Motivasi terus anak agar sukses dunia-akhirat. Saya kira itu lebih luar biasa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun