Ibu sebenarnya tak tega melihat Mas Lurah ---sapaan untuk mas Wawan--- diperlakukan seperti itu.
"Kepripun mawon, mas Wawan niku lurah, pakne. Ampun duka mekaten kalih pak lurah." ("Bagaimanapun, mas Wawan itu lurah, pakne. Jangan marah seperti itu sama pak lurah") Ujar ibuku saat mas Wawan diusir dari rumah.
"Nek bocah kae mrene, berarti dudu lurah. Tapi wong lanang sing arep miloro anakku! Bocah kae dadi lurah neng njaba omahku!" ("Kalau bocah itu ke sini berarti bukan lurah. Tapi lelaki yang bakalan nyakiti anakku! Bocah itu jadi lurah kalau di luar rumahku!")
Waktu itu memang mas Wawan ingin mengajakku malam mingguan. Ya meski sebagai lurah, mas Wawan memang belum punya pendamping. Harapan warga hubungan mas Wawan denganku bisa berakhir di pelaminan.
Namun lama-kelamaan aku merasa iba dibalik rasa sayang dan cintaku untuk mas Wawan.Â
"Mas, njenengan pados calon pendamping sanesipun mawon,"Â ucapku suatu saat. ("Mas, njenengan cari calon pendamping lainnya saja".)
Mas Wawan terkejut. Lalu membuang muka.
"Apa sliramu wis ora tresna marang aku, dik? Aku ki cen anak wong mlarat. Mung bejo isa dadi lurah yoan..." ("Apa kamu sudah nggak cinta aku lagi, dik? Aku memang anak orang miskin. Kemarin cuma beruntung saja bisa jadi lurah")
Ucapan mas Wawan benar-benar membuatku menangis.Â
"Aku bakal nunggu sliramu, dik. Tekan kapan wae..." ("Aku bakal menunggu kamu, dik. Sampai kapanpun.")
***