Empat tahun lalu.
"Kowe mesti ora milih aku mau to, ndhuk?"Â ("Kamu pasti nggak milih aku kan, ndhuk?) Suara menggelegar itu terdengar di ruang tamu. Setelah pemilihan lurah di kalurahanku.
Bapakku yang sudah menjabat lurah selama satu periode, memang mencalonkan lagi. Sebenarnya ibu sudah mengarahkan agar bapak tak mencalonkan lagi. Namun, lagi-lagi keinginan bapak tak dapat dibendung.
Sementara aku punya keinginan bapak tak memikirkan banyak permasalahan gara-gara menjadi lurah. Dulu hampir saja bapak dipenjara karena dugaan penyelewengan anggaran desa. Itu membuatku trauma. Meski pada akhirnya dugaan itu tak terbukti.
Keinginanku itu sebenarnya juga memiliki alasan agar kekasihku bisa menjabat sebagai lurah. Dengan begitu hubungan kami yang sudah bertahun-tahun tak kunjung jelas restunya, bisa segera direstui.Â
Setidaknya meski bapak tak lagi menjadi lurah, mantunyalah yang meneruskan perjuangan bapak. Karena memang banyak warga yang lebih condong memilih mas Wawan daripada bapak. Dilihatnya mas Wawan cakap dan jeli dalam melakukan berbagai usaha.
Dan ternyata mas Wawan bisa mengalahkan bapak dengan selisih suara yang tipis.
"Titenono ya, ndhuk. Arepo Wawan dadi lurah, ora bakalan bapak restui hubunganmu! Titik!" ("Kamu ingat baik-baik, ndhuk. Meski Wawan jadi lurah, bapak nggak bakal merestui hubungan kalian! Titik!")
***
Dan benar! Meski mas Wawan sudah dilantik menjadi lurah, kemarahan bapak selalu dilontarkan ke mas Wawan, pak lurah di kalurahanku.