Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar Unggah-ungguh dari Kepala Sekolah

31 Juli 2021   20:56 Diperbarui: 31 Juli 2021   21:23 2408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai orang Jawa tulen bukan berarti saya bisa berbahasa Jawa yang tepat. Kalau sekadar ngobrol dengan teman sebaya atau orang yang usianya lebih muda saja, saya tak menemukan kesulitan. Cukup gunakan Basa Jawa Ngoko.

Lalu bagaimana jika berhadapan dengan orangtua, orang dewasa dan atasan?

Mengenal Tingkatan Basa Jawa

Terus terang saya kesulitan juga dalam berkomunikasi secara tepat dengan orang tua, orang dewasa, atasan atau sesepuh. 

Maklum di kalangan orang Jawa tingkatan berbahasa terdiri dari basa Jawa Krama dan basa Ngoko. Basa Ngoko sendiri terdiri dari Ngoko lugu dan Ngoko alus. Sedangkan Basa Krama meliputi basa Krama lugu dan Krama Inggil. Jadi ada empat tingkatan basa Jawa.

Penggunaan keempat tingkatan bahasa Jawa cukup sulit. Jika tak paham unggah-ungguh plus aturannya maka bisa salah kaprah dan terkesan tidak sopan. 

Pertama jika saya tadi sudah menuliskan bahwa ketika ngobrol dengan teman sebaya atau orang yang lebih muda maka saya pergunakan basa Jawa Ngoko (Ngoko lugu). Ngoko lugu juga biasa dipergunakan ketika orangtua bercakap-cakap dengan anaknya.

Kedua jika berhadapan dengan teman kerja dan menunjukkan sopan santun maka saya mempergunakan basa Jawa Ngoko alus. Ngoko alus ini sering saya pergunakan saat bercakap-cakap dengan rekan kantor, entah yang usianya lebih muda maupun sepantaran.

Dengan bahasa Ngoko alus ini saya dan rekan kerja bisa bercanda namun tetap mengutamakan kesopanan. Jika berbahasa Jawa Ngoko lugu, paling mudah dengan menyebutkan "aku" dan "Kowe" untuk sapaannya. Namun jika berbahasa Ngoko alus maka istilah "aku" saya ganti dengan "kula". Sedangkan "Kowe" diganti dengan "njenengan". 

Tingkatan ketiga, krama lugu. Bahasa ini dipergunakan untuk bercakap-cakap antara anak dengan orang tua, sesepuh dan teman yang tak terlalu akrab maupun orang yang lebih tinggi kedudukannya. Jika berhadapan dengan orang yang kedudukannya lebih tinggi namun usianya lebih muda, tetap usahakan menggunakan Krama lugu atau bahkan Krama Inggil. 

Tingkatan tertinggi ada basa Jawa Krama Inggil. Penggunaannya hampir sama dengan Krama lugu. Letak perbedaannya ada pada tingkatan serta kosa katanya. Bertemu dan berbincang dengan orang lain yang belum dikenalpun mempergunakan basa tingkatan ini.

Belajar Unggah-ungguh Sepanjang Masa

Sejak SD hingga SMA sudah pasti belajar Basa Jawa. Namun yang saya ingat betul adalah saat SMP, saya dan teman-teman diminta guru Basa Jawa untuk membuat kamus basa Jawa sendiri. 

Tentu saja kamus itu berbentuk kolom dan berkaitan dengan kata kerja. Misal: kolom pertama ada tembung atau kata ngumbahi (mencuci, dalam bahasa Jawa) adalah basa ngoko lugu. Nah nanti pada kolom basa Krama alusnya nggirahi. Contoh lain: turu, tilem dan sare untuk tingkatan basa untuk istilah tidur. 

Di SMA juga masih belajar Basa Jawa tentang bagaimana hidup yang sesuai unggah-ungguh. Bahkan sampai kerja pun saya masih belajar. Itupun belajar pada atasan, Kepala Sekolah. Kebetulan Kepala Sekolah ahli tata bahasa Jawa selain mahir dalam manajerial sekolah.

Alhamdulillah pelan-pelan, meski mungkin Kepala Sekolah saya agak pekewuh atau sungkan, saya dan teman-teman belajar berbahasa yang baik. Jika ada kesalahan maka akan langsung ditegur. Saya pribadi tidak merasa tersinggung jika ditegur karena kesalahan dalam berbahasa Jawa. Dengan senang hati saya menerima pelajaran gratis itu.

Senior di sekolah pun pernah ditegur saat menyebutkan nama sakit yang dideritanya diabetes atau sakit gula. Oleh senior saya dibahasakan gerah gendhis di mana gerah artinya sakit dan Gendhis adalah bahasa krama dari gula. Ternyata istilah yang disebutkan senior saya itu keliru. 

"Bukan gerah gendhis, bu. Sakit gula(gulo)". Lebih lanjut Kepala Sekolah juga berbagi ilmu bahwa nama tempat atau kota tidak boleh dikramakke. Misalnya Wonosari dikramakke Wonosantun juga keliru.

Antara atasan dan anak buahnya memang akrab dan saya serta teman-teman kerja merasa beruntung bisa belajar tata bahasa Jawa dari Kepala Sekolah. Kami belajar pada beliau selama 2 periode jabatan atau sekitar delapan tahun.

Sudah empat tahun beliau tak menjabat Kepala Sekolah lagi di sekolah kami. Beliau ditempatkan sebagai Kepala Sekolah di SD negeri. Namun ilmu berbahasa Jawa masih lekat di hati kami. Pelajaran yang sangat berharga di mana kami sebagai guru harus bisa jadi contoh yang baik, terutama dalam hal unggah-ungguh. Agar tata krama penerus bangsa tak tergerus oleh perkembangan zaman dan guru bisa menularkan tata bahasa yang baik selain bagaimana bersikap yang baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun