Belajar Unggah-ungguh Sepanjang Masa
Sejak SD hingga SMA sudah pasti belajar Basa Jawa. Namun yang saya ingat betul adalah saat SMP, saya dan teman-teman diminta guru Basa Jawa untuk membuat kamus basa Jawa sendiri.Â
Tentu saja kamus itu berbentuk kolom dan berkaitan dengan kata kerja. Misal: kolom pertama ada tembung atau kata ngumbahi (mencuci, dalam bahasa Jawa) adalah basa ngoko lugu. Nah nanti pada kolom basa Krama alusnya nggirahi. Contoh lain: turu, tilem dan sare untuk tingkatan basa untuk istilah tidur.Â
Di SMA juga masih belajar Basa Jawa tentang bagaimana hidup yang sesuai unggah-ungguh. Bahkan sampai kerja pun saya masih belajar. Itupun belajar pada atasan, Kepala Sekolah. Kebetulan Kepala Sekolah ahli tata bahasa Jawa selain mahir dalam manajerial sekolah.
Alhamdulillah pelan-pelan, meski mungkin Kepala Sekolah saya agak pekewuh atau sungkan, saya dan teman-teman belajar berbahasa yang baik. Jika ada kesalahan maka akan langsung ditegur. Saya pribadi tidak merasa tersinggung jika ditegur karena kesalahan dalam berbahasa Jawa. Dengan senang hati saya menerima pelajaran gratis itu.
Senior di sekolah pun pernah ditegur saat menyebutkan nama sakit yang dideritanya diabetes atau sakit gula. Oleh senior saya dibahasakan gerah gendhis di mana gerah artinya sakit dan Gendhis adalah bahasa krama dari gula. Ternyata istilah yang disebutkan senior saya itu keliru.Â
"Bukan gerah gendhis, bu. Sakit gula(gulo)". Lebih lanjut Kepala Sekolah juga berbagi ilmu bahwa nama tempat atau kota tidak boleh dikramakke. Misalnya Wonosari dikramakke Wonosantun juga keliru.
Antara atasan dan anak buahnya memang akrab dan saya serta teman-teman kerja merasa beruntung bisa belajar tata bahasa Jawa dari Kepala Sekolah. Kami belajar pada beliau selama 2 periode jabatan atau sekitar delapan tahun.
Sudah empat tahun beliau tak menjabat Kepala Sekolah lagi di sekolah kami. Beliau ditempatkan sebagai Kepala Sekolah di SD negeri. Namun ilmu berbahasa Jawa masih lekat di hati kami. Pelajaran yang sangat berharga di mana kami sebagai guru harus bisa jadi contoh yang baik, terutama dalam hal unggah-ungguh. Agar tata krama penerus bangsa tak tergerus oleh perkembangan zaman dan guru bisa menularkan tata bahasa yang baik selain bagaimana bersikap yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H