Sesaat mataku berkaca-kaca. Sambil kudengar njenengan ceritakan bagaimana masa-masa prihatin saat pertama kali berkeluarga.
"Kabeh wong sing omah-omah mesti wiwit seka nol. Sing penting usaha lan ndonga..."
Ya...kukira itulah yang membuatmu maklum dan merestui ketika calon suamiku dulu melamar dan menikahiku dengan kondisi prihatin. Aku guru non PNS, calon suamiku pegawai non PNS.
Sungguh, aku bersyukur karenanya. Njenengan memandang seorang lelaki yang dekat denganku bukan karena sudah sukses atau memiliki gelar sarjana atau gelar lainnya.Â
***
Tentu saja njenengan tak tahu bahwa mataku berkaca-kaca. Aku tak menatap njenengan. Ya...aku teringat ibu yang begitu sabar mendidik keempat anaknya. Sabar dalam sakitnya. Terlintas rasa bersalahku pada ibu.
Selain itu, rasa cintamu begitu besar pada ibuku. Itu membuatku terharu. Di balik sifat kerasmu, hatimu setia, ingin berkumpul lagi dengan ibu di surga.Â
Ya... perasaan njenengan pada ibu, kulihat dari tulisan njenengan secara sekilas. Tulisan yang menceritakan pengalaman berkeluarga selama ini.
***
Tak sabar, sesampai di rumah kubuka buku yang sangat berharga dari njenengan. Kubaca pelan-pelan sejarah keluargamu.Â
Njenengan tuliskan bahwa njenengan dan ibu berasal dari keluarga tak mampu. Bahkan ketika sudah menikah, ibu masih membantu membiayai sekolah adik-adiknya. Sungguh aku baru tahu tentang hal ini.Â