Hampir setiap hari aku dan si bungsu ke rumah njenengan. Ya...agar njenengan tak kesepian setelah kepergian perempuan yang empat puluh tujuh tahun mendampingi njenengan. Perempuan itu, ibuku.
Beruntunglah keempat anak njenengan memiliki rumah yang dekat dengan rumah tua, yang selama tiga puluhan juga kutempati. Bahkan si bungsumu ikhlas tinggal di rumah itu. Rumah tabon.
**
Kita di beranda rumah tua itu. Sesaat kita ngobrol tentang banyak hal, vaksin, sekolah, juga anak-cucumu. Kebetulan si sulung dan adiknya tengah di ruang tamu. Ruang yang dulu sering juga di sudut tertentu, ibu duduk di sana.
Sebenarnya nyaris tak pernah kudengar bagaimana kisah masa lalu kalian. Kalian tak pernah membahas masalah itu. Di tengah obrolan kita, anak-anak minta jatah jajan. Njenengan pun masuk ke dalam rumah.Â
"Nyo... Iki nggo wacan," ucap njenengan singkat sambil menyerahkan buku tipis warna hijau. Di sana kubaca, "Memory Hidup, Cinta Kasih Abadi Tak Kan Luntur" pada sampulnya. Lalu ada tulisan kecil, "Teruntuk Isteriku". Pada bagian bawahnya tercantum namamu.Â
"Aku nek ora nulis malah mumet. Dadine nulis..."
Kudengar suara njenengan menceritakan pengalaman saat masih muda yang memang sering mengirimkan tulisan ke Pandji Masyarakat dan berbagai media.
"Nek tulisanne dimuat, ya oleh duit..."
Lalu njenengan ceritakan juga kalau sering mengirimkan jawaban Teka-teki Silang ke sebuah koran yang saat ini masih menjadi surat kabar langganan njenengan, Kedaulatan Rakyat. Jawaban itu ditulis pada selembar kartu pos warna oranye.
***