Mengawali semester genap ini dari sekolah memberikan dua kain seragam yaitu kain batik walang ---kain yang menjadi ciri khas dari Gunungkidul--- dan batik Muhammadiyah karena saya memang bekerja di lingkungan Muhammadiyah.
Mau tak mau demi menaati peraturan sekolah dalam pengenaan pakaian seragam, kedua kain itu saya jahitkan pada seorang penjahit langganan saya. Kebetulan penjahit ini masih saudara jauh.
Model pakaian karena seragam ya sesuai aturan saja. Yang jelas dari sekolah wanti-wanti pakaiannya harus panjang, paling tidak sampai lutut. Model tunik.
Ketika saya membawa kedua kain seragam ke penjahit, saya menyampaikan pesan, kalau ada kain sisa maka saya minta dibuatkan masker.
Tujuan pembuatan kain sisa untuk masker ya ada beberapa macam. Pertama, yang jelas untuk ganti masker sebagai pelindung awal kesehatan di masa pandemi ini.
Akan terasa unik dan lebih fashionable kalau mengenakan seragam lalu maskernya serasi. Jadi menjaga kesehatan sekaligus biar lebih modis saat bekerja meski belum mengajar secara tatap muka.
Sebenarnya bagi guru lain di sekolah-sekolah lain, pembuatan masker dari kain sisa seragam atau batik sudah cukup banyak.Â
Nah, menurut saya di tahun ini akan lebih booming atau tren. Setidaknya tren bagi guru di Indonesia.
Kenapa?
Ya, kemungkinan besar seragam ---terutama di lingkungan sekolah--- sudah banyak seragam yang tak layak dikenakan dan harus menjahitkan seragam baru.
Tak mungkin kan bekerja dengan seragam yang lusuh? Apa kata dunia kalau guru lusuh? Hehehe.
Pengabdian kepada negeri tetap berjalan meski para siswa belajar di rumah. Berpakaian yang rapi, modis, dan tetap memerhatikan protokol kesehatan harus terus dilakukan.Â
Ah, semoga saja para guru tetap dikaruniai kesehatan dan rezeki yang barokah demi anak bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H