Setelah empat tahun belajar di salah perguruan tinggi negeri di Jogja, gelar sarjana pendidikan dapat dipastikan bisa kupegang di bulan Agustus. Selepas itu masih ada revisi sedikit dari naskah skripsiku.
Sebuah skripsi yang hanya kupersembahkan untuk kedua orangtuaku, saudara dan sahabat dekat. Tak ada namamu di sana. Sedianya akan tersemat namamu di sana.
Kedekatan kita sebenarnya bukan tanpa sengaja. Kita dalam satu tim KKN. Kamu sering curhat tentang kecenganmu. Kudengarkan dengan seksama.
Kamu adalah teman satu program studi. Kebetulan kita bisa masuk dalam satu tim. Aku sendiri tak pernah berharap bisa bekerjasama denganmu saat KKN.
Ternyata Allah mengatur sedemikian indah skenario hidupku. Aku dan kamu satu tim KKN. Nafisha, temen kita, yang heboh karenanya.
"Kesempatan lebih dekat dengan Yudi, Kin!" Ucap Nafisha semangat.
Aku tersipu. Tetapi meski satu tim aku tak pernah berharap apapun akan hubungan kita. Kutahu kita tak mungkin bersatu. Apapun alasannya.
**
"Orang Sunda dan orang Jawa itu nggak cocok berumah tangga. Gitu ibuku bilang, Kin!"
Yudi mulai curhat. Dia dekat dengan Reni, mahasiswi dari teknik Tata Boga. Reni itu orang Jawa tulen. Dari sebuah kabupaten di Yogyakarta yang terkenal dengan kondisi alam yang sering kekeringan.
"Kamu yakinkan ibumu dong, Yud! Jodoh itu nggak lihat-lihat dari suku apa kan? Langgeng tidaknya hubungan ya ditentukan dari kedewasaan dua orang yang menjalani hubungan..."
Kamu mengangguk tapi menyanggah pendapatku.
"Itu sih pikiran anak muda kayak kita, Kin! Kalau orangtua mah beda lagi!"
Kamu berlalu dan meninggalkan lembaran kertas konsep tugas mandiri untuk KKNmu. Kubereskan saja daripada nanti kamu semakin pusing karena kehilangan konsep yang kamu susun beberapa hari.
***
"Aku kini nyaman dengan perempuan lain, Kin!"
Aku terbelalak tak percaya. Baru beberapa bulan kamu pusing tujuh keliling karena tak ada restu dari orangtuamu. Kini malah sudah dekat dengan perempuan lain pula. Wowww!
"Lalu gimana dengan Reni?"Â
"Ya udah. Putus. Berat kalau meyakinkan ibuku, Kin!"
"Ah kamu itu, loyo duluan sebelum berjuang. Wuuuu...!" Cemoohku.
Kamu cuek dengan cibiranku. Namun aku bersyukur karena kamu sudah mengambil keputusan yang benar.
Restu dari orang tua itu segalanya. Percuma memperjuangkan seseorang yang tak disukai orangtuamu. Perempuanmu dan kamu pasti akan sangat capek menjalani rumah tangga nantinya.
"Tetapi dengan perempuan yang sekarang membuatku nyaman sepertinya bernasib sama, Kin!"
"Bernasib sama?" Tanyaku hati-hati.
Aku memandang wajahmu. Wajahmu menatap lalu lalang kendaraan di gang kampus kita.
"Iya. Karena kamu yang membuatku nyaman..."
***
Akhir November itu menjadi pertemuan terakhir kita meski kita satu program studi. Aku lulus duluan. Aku wisuda Desember ini. Kamu entah kapan. Kamu tak lagi cerita atau tanya materi skripsi padaku sejak kamu nyatakan perasaanmu padaku.
"Yudi di mana, Yan?" Aku sempat menanyakan keberadaanmu pada Yanto saat aku wisuda dan foto bersama. Yanto datang ke gedung olahraga yang biasa menjadi tempat wisuda. Dia memang menjadi tempat curhatmu kan?
"Di kos, Kinara..."
"Oh... sampaikan salam ya! Kutunggu kabar bahagianya, gitu..." Kusampaikan pesanku untukmu dengan setengah bercanda. Padahal hatiku tak karuan. Bahkan menjumpaiku sebentar saja saat wisuda, kamu tak mau.
Yanto tersenyum saat mendengar ucapanku. Kuyakin dia tahu kepiluan hatimu, juga hatiku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H