Jelang penghujung Januari tahun ini, ibu berpulang. Tanpa ada yang mengetahui, bahwa ibu tengah sakaratul maut hari itu.Â
Aku yang setiap hari mengunjungi rumah njenengan dan ibu, seolah begitu disibukkan dan hanya mengandalkan ilmu kira-kira.
***
30 Januari waktu itu. Hari Kamis. Tak seperti biasanya. Saat jam istirahat pembelajaran, aku ke rumah njenengan ya, pak. Rumah yang selama tiga puluhan tahun juga kutinggali. Ya karena aku adalah salah satu buah hati njenengan dan ibu.
Ketika aku ke rumah masa kecilku itu, biasanya ibu tengah shalat Dhuha. Kalau tidak, ibu mengaji atau menonton televisi.
Untuk hari Kamis itu, tak kulihat ibu di kursi tempat biasanya duduk untuk shalat, mengaji atau menonton televisi. Televisi yang biasa disetel dengan suara cukup keras ---karena memang pendengaran ibu sedikit berkurang--- pun tak terdengar.Â
Aku hanya membatin, "Oh... ibu pasti tidur karena semalam tak tidur..."
Aku dan saudara-saudara hafal dengan kebiasaan ibu itu. Setiap siang tidurnya lama. Akibatnya saat malam tiba, ibu tak bisa tidur. Saat itulah ibu berwudhu dan melaksanakan shalat tahajud. Tak lelah beribadah. Hawa dingin menusuk tulang pun tak ibu pedulikan.Â
Meski udara dingin bukan kepalang, wudhu tetap dilakukan. Padahal orang yang lebih sehat seperti anak-anaknya saja malah sering mengeluh kedinginan.
Karena hafal kalau ibu sering tak bisa tidur, aku mengira bahwa ibu tidur nyenyak Kamis itu. Jadi aku tak mau mengganggu. Tanpa mengecek kondisi ibu di kamarnya.
Sore hari saat aku dan si kecil ke rumah yang selalu kurindukan itu, lagi-lagi tak ada suara televisi dari ruang depan kamar ibu. Namun tak ada pikiran macam-macam waktu itu.
"Ndhuk, bapakmu di rumah nggak?" Tanya njenengan ke sulungku.
Ketika aku mengatakan kalau bapaknya anak-anak di rumah, njenengan langsung meminta sulungku untuk pulang.
"Bapakmu suruh beli lauk buat buka Mbah uti ya..."
Sulungku pulang dan membawa uang yang njenengan berikan.
***
Jelang Maghrib, aku dan si kecil baru saja sampai rumah. Tiba-tiba dari luar suamiku masuk rumah.
"Bu, Mbah uti gimana? Kok Bulik Lalo sama Mbah Mar ke sana..."
"Nggak gimana-gimana tuh, pak. Nggak ada apa-apa dengan Mbah uti..."
"Coba deh kamu ke sana dulu. Si kecil biar di rumah sama aku. Soalnya Bulik Iza tadi nelpon Bulik Lalo..."
Segera aku keluar rumah dan menstarter motor. Aku khawatir kalau ibu terjatuh di kamar atau kamar mandi lalu stroke lagi. Astaghfirullah.
Kulajukan motorku dengan pelan. Tak lama, aku telah sampai rumah njenengan, pak. Sayup kudengar Mbah Mar mengucapkan kalau terjadi sesuatu dengan ibu.
Kuberlari kecil menuju kamar ibu. Di sana sudah ada Bulik Iza, Lalo, budhe Ika, Mbah Mar dan njenengan. Ibu dalam posisi terbujur dan telah disedekapkan.
Innalilahi wa innailaihi raaji'uun.
Dadaku sesak, dan akhirnya air mata berjatuhan. Tak percaya bahwa ibu telah mendahului kita.
Sungguh saat itu kusadari bahwa doa-doa ibu terkabul. Ibu ingin meninggal tanpa merepotkan anak-anak dan dalam keadaan suci karena berpuasa.
Semoga ibu husnul khatimah, dilapangkan kuburnya ya, pak.
***
Kini, sebelas November pertama njenengan bertambah usia tanpa ibu. Doaku dan cucu-cucu, semoga njenengan senantiasa diberkahi usia yang barokah, sehat dan menyaksikan cucu-cucu sampai dewasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H