Masih di bulan Mei. Satu Minggu setelah kamu menyatakan perasaanmu, kita janjian bertemu di depan Masjid Al Ikhlas. Akulah yang memilih tempat pertemuan kita. Kamu hanya manut.Â
Letak masjid ini cukup jauh dari rumahku dan rumahmu. Entah kenapa aku memilih tempat itu. Yang jelas, aku ingin semua berawal dari tempat yang baik karena proses dan hasilnya juga akan baik. Menurutku begitu.
Di perjalanan menuju masjid agung di kabupaten kita itu, aku masih agak bingung meski sudah curhat pada Bu Yuni dan saudara-saudara.
"Bu, njenengan mencintai mas Ariyanto? Coba jujur saja. Bagaimana hati njenengan...", begitu nasehat Bu Yuni. Senior kita di sekolah yang baik hati.
Saudara-saudara juga sering meledek saat aku curhat, harus memberi jawaban seperti apa kalau waktu yang kujanjikan untuk menjawab pernyataan cintamu.
"Kalau cewek minta waktu untuk menjawab pernyataan cinta, biasanya diterima, mbak. Hahaha...", itu pendapat Lalo, adik sepupuku. Aku mesam-mesem mendengar ucapan dan gelak tawanya.
**
Menuju masjid Agung Al Ikhlas terasa beda. Meski aku sering dolan atau muter-muter ke Wonosari.
Akhirnya sampai juga aku di halaman masjid ikon dan kebanggaan Gunungkidul itu. Pandanganku mengitari seputar halaman masjid yang lumayan luas.
Tepat di bawah pohon, kamu sudah menungguku. Kamu bilang sudah lama sampai di sana, saat aku tanya sudah lamakah menungguku.
"Soalnya aku penasaran..."
***
Selepas dari halaman masjid Al Ikhlas, kita mampir di warung soto, daerah Kelor. Warung soto itu memang menjadi tempat jajan favorit di daerahku.Â
"Kamu mau makan apa, dik?"
Aku tertawa lepas.
"Lah mosok aku harus manggil "bu" sama kekasih sendiri..."
Mulai saat itu, telingaku memang harus terbiasa dengan sapaan baru darimu karena sebelumnya kamu menyapaku "bu".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H