Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pernikahan Lusan, Antara Mitos dan Nalar

18 Agustus 2020   14:39 Diperbarui: 18 Agustus 2020   14:49 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Entah untuk berapa kalinya saya diinbox oleh pembaca, baik melalui Instagram, Chat di Kompasiana. Gara-gara cerpen tentang pernikahan lusan. Judul yang saya ambil "Mitos Lusan Tak Terbukti di Pernikahan Kami" dan saya publikasikan pada 22 Maret 2019. Cerpennya bisa dibaca di sini.  Cerpen Mitos Lusan Tak Terbukti di Pernikahan Kami.

Saya sebenarnya tak menyangka bahwa cerpen itu banyak diapresiasi dan viewernya pun lumayan. Jika dibandingkan dengan tulisan atau cerpen yang HL, viewernya lebih banyak yang mitos lusan ini. Padahal cerpen ini bukanlah cerpen pilihan editor.

Tapi sudahlah. Saya merasa surprise dan agak kesulitan juga ketika ada pembaca yang inbox. Mereka pada umumnya pasangan pemuda dan pemudi yang menjalin hubungan serius. Mereka ingin melangkah ke jenjang pernikahan. Namun ketika dihadapkan bahwa mereka berdua, perempuan anak pertama dan si lelaki anak ketiga, atau berkebalikan, mereka akan kesulitan mendapatkan restu dari keluarga.

Saya yakin mereka sangat nyesek atau galau. Satu sisi mereka serius untuk menikah tapi dihadapkan pada mitos bahwa anak pertama (kapisan) tidak boleh menikah dengan anak ketiga (katelu). Orang Jawa mengenalnya sebagai pernikahan lusan (katelu-kapisan) atau jilu (siji-telu).

Dalam mitos Jawa, pernikahan lusan akan membawa kesialan baik hubungan tidak harmonis, perekonomian yang prihatin hingga kematian anggota keluarga. 

Pernikahan lusan ini merupakan pernikahan pantang bagi orang Jawa yang masih berpegang teguh pada kepercayaan lama. Salahkah percaya mitos seperti itu?

Sebenarnya mitos pernikahan pantang tak hanya pernikahan lusan, tetapi ada juga pernikahan pantang antara orang Jawa dan Sunda yang dikaitkan dengan peristiwa Bubat atau pernikahan antar dusun pun berkembang di tempat tinggal saya.

Oke. Kembali ke pernikahan lusan. Ada pertimbangan psikologis yang mengaminkan pernikahan lisan tidak akan langgeng. Apalagi kalau bukan sifat dari anak pertama dan anak ketiga yang beda sekali.

Anak pertama digambarkan sebagai anak yang pengatur, merasa dewasa dan terbiasa menjadi patokan. Sementara anak ketiga sifatnya manja, sulit diatur dan semaunya sendiri. Jika keduanya menikah maka akan ribut dan sial.

Lalu bagaimana jika ternyata ada pasangan kekasih yang kebetulan adalah anak pertama dan ketiga? Mau melanjutkan ke jenjang pernikahan ataukah tidak?

Begini, saya menulis cerpen itu hanya berdasar dari ingatan saya saat akan dinikahi calon suami. Dia adalah anak pertama. 

"Dik, kamu anak keberapa? Bukan anak ketiga kan?"

Terus terang saya waktu itu tak paham kenapa dia tanya seperti itu. Saya tidak pernah tahu mitos itu sebelumnya. Lalu dia cerita kalau simbahnya yang tanya. Soalnya simbahnya bilang kalau anak pertama itu menikah dengan anak ketiga itu tidak boleh.

"Loh kenapa emangnya, mas?" Tanya saya waktu itu.

Dia cerita kalau pernikahannya akan membawa sial. Saya sih tak percaya. Kalau misalnya sampai tak direstui ya sudah. Meski waktu itu tinggal menunggu waktu ijab kabul. Sudah mendaftar ke KUA juga.

Keluarga saya juga tak pernah memikirkan pernikahan itu anak keberapa dengan anak keberapa. Orangtua menekankan bahwa kami seagama dan bertanggungjawab. Perkara rezeki nanti bisa mengikuti. 

Saya lalu menjawab pertanyaan calon suami bahwa di atas kertas ---Akta Kelahiran--- saya anak ketiga tetapi dalam kenyataan saya anak keempat. Kakak sulung saya meninggal dunia waktu bayi dan tidak sempat dibuatkan Akta Kelahiran.

"Ya sudah. Yang penting kamu bukan anak ketiga," jawabnya singkat.

Saya yakin calon suami waktu itu yang malah khawatir kalau sampai saya anak ketiga. Alamat bisa gagal menikah gara-gara tak direstui. 

Dari pengalaman sebuah pertanyaan dari calon suami dulu, saya buatlah cerpen itu. Ya tujuannya sedikit mengedukasi pembaca saja. Jika bermanfaat ya Alhamdulillah.

Percaya atau tidak pernikahan lusan selalu dihadapkan pada pandangan keluarga besar

Beberapa pembaca cerpen tema lusan itu sering menanyakan harus bagaimana menyikapinya keluarga yang masih berpegang pada mitos itu.

Memang akan sulit jika berbicara dengan keluarga terutama yang berusia senja. Mungkin langkah satu-satunya, komunikasi dengan orangtua. Bagaimana pun orangtualah yang paling punya hak atas anak.

Jika orangtua merestui, maka orangtua bisa membicarakan perihal pernikahan lusan itu kepada keluarga besar. Sampaikan beberapa hal yang masuk akal jika restu diberikan kepada anak.

Mengenai kesialan baik hubungan tidak harmonis, perekonomian yang prihatin hingga kematian anggota keluarga tidak ditentukan dari anak keberapa.

Hubungan harmonis itu memang harus diperjuangkan oleh pasangan suami istri. Jika berpegang pada komitmen maka masalah sebesar apapun akan bisa dilalui dan tetap langgeng.

Di sekitar kita dan di berbagai pemberitaan betapa banyak contoh kegagalan pernikahan meski mereka bukan anak pertama dan ketiga. Keharmonisan bisa diraih jika diusahakan terus dan tentu harus ada kesiapan lahir batin sepanjang hidup.

Ketika dalam perjalanan ternyata ada prahara, maka keluarga ---orangtua--- harus merukunkan kembali. Tentu dengan banyak pertimbangan seperti anak dan sebagainya.

Kemudian jika pernikahan pantang karena khawatir rezeki akan seret maka bisa tunjukkan bahwa di sekitar kita ada banyak contoh kesuksesan ekonomi setelah menikah. Sukses itu diraih karena ketekunan dan saling mendukung satu sama lain. Isteri mendukung suami, suami juga mendukung isteri.

Saya dan suami dulu sama-sama non PNS. Banyak yang meragukan langgeng tidaknya keluarga baru kami nantinya. Dua tahun kemudian Allah menjawab keraguan teman-teman. Suami menjadi PNS. Lalu saya mengikuti sertifikasi setelah lima tahun menikah.

Yang terpenting dalam mengelola uang, harus hemat dan benar-benar bisa mensyukuri saja. Jika tak bersyukur atas rezeki maka akan terasa kurang terus.

Kemudian jika pernikahan pantang dikaitkan dengan kematian keluarga, maka perlu ingat bahwa segala sesuatu adalah kehendak Allah. Jika sudah waktu berpulang, tanpa ada pernikahan lusan pun pasti meninggal juga.

Itu pandangan secara nalar. Namun untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan perlu komunikasi dan kesabaran tinggi. Mendobrak sesuatu yang sudah dipegang secara tradisi tidaklah semudah yang dibayangkan. 

Jika calon pasangan manten atau orangtua tidak bisa meyakinkan keluarga besar ---sepuh--- maka bisa meminta bantuan pemuka agama di sekitar. Merekalah yang lebih berkompeten keilmuannya dalam hal pernikahan.

Jangan lupa, komunikasikan pada Sang Pencipta. Pasrahkan segala sesuatu pada-Nya. Jika seorang muslim maka bisa istikharah dulu untuk meyakinkan hati akan calon pasangan yang dipilih. 

Jika ternyata yakin maka lanjutkan saja rencana pernikahannya. Namun jika ragu, maka bisa mencari orang lain untuk menjadi pendamping. 

Semoga bisa menjemput hari bahagia. Salam hangat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun