Meski aku menolak, dia tetap mengantarku.
"Kamu lagi kacau begitu. Kalau nggak diantar khawatir kalau kamu aneh-aneh..."
**
Sesampai di rumah, bulik marah-marah. Ya bulik sebagai ganti dari orangtuaku yang sudah tiada. Bulik merasa kalau aku telah membuatnya malu.Â
"Jam segini baru pulang. Ke mana saja kamu, Ntik? Sama laki-laki lagi. Apa kata tetangga?"
Aku tak berkutik. Mataku yang sembab kembali meneteskan air mata.Â
"Ini...nangis lagi. Kamu diapain sama laki-laki ini?"
Aku menggeleng. Bulik masih saja marah.
"Bu, saya nggak ngapa-ngapain kok. Tapi kalau ibu mengira saya aneh-aneh dengan putri ibu, saya siap bertanggung jawab..."
**
Aku dan pak Widi memang akhirnya dekat. Dia berniat mau mengenalkanku dengan keluarganya. Namun justru permasalahan berawal dari ini.