Masjid adalah rumah Allah. Tempat beribadah umat muslim. Ada kedamaian ketika bertandang ke rumah suci itu.Â
Begitupun warga kampung kami. Selain menjadi tempat beribadah, masjid juga untuk hidup bersosial. Saling bercengkrama.
Obrolan ringan sampai masalah politik terkadang dibicarakan di sana. Oleh para tetua terutama. Lalu bagi anak muda, obrolan ringan yang terlontar. Tentang persepakbolaan bagi pemuda atau artis Drakor bagi pemudi. Hihihii.
Obrolan tentang harga sembako juga menjadi bahan pembicaraan. Tentu dilakukan para emak. Meski merasa lelah karena mengurusi rumah, mereka tetap saling curhat. Ya mungkin itu bisa menjadikan pikiran mereka lebih fresh.
**
Tiba-tiba pagi ini, warga heboh dengan rencana para pemuda untuk membangun sumur baru di lingkungan masjid.Â
Pro kontra terjadi. Anehnya warga yang pro ternyata tidak mengetahui rencana pembuatan sumur baru itu sudah dibahas dengan sesepuh atau warga ataukah belum.
Warga yang kontra malah mereka yang tidak tinggal di kampung. Ya... mereka mengadu nasib ke daerah lain. Mereka meminta rencana membangun sumur baru dipertimbangkan ulang.
Alasannya sumur yang dibangun adalah sumur bor dengan kedalaman antara 20-25 meter. Mereka mengkhawatirkan air resapan dari sumur warga bisa kering.
Ada yang enteng berkomentar bahwa dia belum tahu apakah bisa berdampak seperti itu ataukah tidak.
Ramailah warga dan menjadi saling bersuudzon. Gara-gara perencanaan yang kurang matang. Grusa-grusu kata orang sepuh di kampung kami.Â
**
Malam harinya.
Aku merasakan bumi tempatku berpijak bergemuruh. Goncangan hebat menyertai suara gemuruh tadi.
Allahuakbar. Kusadari bahwa tanah kami terjadi gempa. Sangat kuat hingga rumah kami turut rusak berat.
Secara tiba-tiba, tanah kami terasa dihempas bebas. Dan byur... Air tanah muncul ke permukaan.
Aku panik. Warga lainnya pun merasakan hal yang sama. Di saat panik, langkahku seolah dituntun menuju rumah Allah.Â
Meski dengan perjuangan berat karena tanah retak tak beraturan, kudekati masjid. Namun tanah lapang tak ada lagi di sana.Â
Yang ada hanya air dan di seberang sana masjid kami masih berdiri kokoh. Sungguh kuasa Allah. Fakta bahwa rumahNya selalu dilindungi. Sementara tanah yang pernah menjadi perseteruan dalam pembangunan sumur bor, amblas bersama goncangan hebat.
Antara ngeri, takjub akan kuasaNya. Aku menyadari bahwa tanah kami rentan gempa runtuhan. Beberapa meter di bawah tanah kami, yang ada batuan kapur. Kapan saja bisa amblas.
Aku menangis. Juga warga lain yang juga mau ke masjid. Hingga tangan lembut mengelus kepalaku. Kulihat ibuku mencoba tersenyum di balik wajah penuh tanda tanya. Rupanya aku bermimpi.
**
Keesokan harinya.
Aku menuju masjid. Di sana telah berkumpul warga kampung yang akan membahas kondisi lingkungan masjid.
Tekadku satu, akan mendukung pembatalan rencana membuat sumur baru. Masjid harus dilestarikan dan dimakmurkan sebaik mungkin. Tak perlu banyak fasilitas. Tak perlu juga megah. Perlu ingat struktur tanah berkapur juga yang tidak kokoh.
Masjid kami memang terkesan kuno tetapi masjid itulah kebanggaan kami. Masjid yang menjadi cagar budaya di daerah kami.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H