Aku tak tahu pasti. Memang untuk bangkit lagi setelah kesalahpahaman kita, rasanya sungguh berat. Satu sisi aku ingin semua kembali seperti sedia kala. Namun di sisi lain kumelihat ada jurang yang cukup dalam untuk mencapai bahagia bersamamu.
Ya... situasi gempa Jogja membuat aku begitu berani ke daerah episentrum gempa. Di sana ---Imogiri--- sering kali guncangan gempa terasa, siang, malam, pagi meski tak begitu kuat. Tak ada yang bisa memprediksi.
Di sana aku berharap bisa melupakan namamu di hatiku. Di sana bisa kukatakan, aku berusaha mencari pelarian. Ya kuanggap ke daerah gempa adalah pelarian agar tak memikirkanmu terus.Â
Membantu menyiapkan makan, melihat rasa prihatin para korban bencana kuharapkan bisa menghapus namamu. Meski itu tak mungkin. Aku butuh waktu untuk melupakanmu dengan segala indahmu.
Oh iya. Tahukah kau? Tindakanku ke daerah gempa, seringkali dianggap sesuatu yang bodoh bagi saudara-saudaraku. Aku tak bergeming.
Aku tahu mereka sangat mengkhawatirkan aku. Mengkhawatirkan keselamatanku. Setiap saat mereka menelepon atau SMS, menanyakan kondisiku. Adakah gempa susulan, kondisi berbahaya ataukah tidak.
Di Imogiri, aku bersama sahabatku tinggal di reruntuhan rumah. Ya reruntuhan rumah teman yang hanya tersisa satu kamar yang cukup luas dan mereka sulap menjadi beberapa ruang untuk tempat tidur.
Dalam kamar sempit itu aku mencoba untuk melupakanmu. Bersama sahabat dan kucingnya yang sering mendekatiku. Pasti kau menertawakanku, kau hafal bahwa aku sangat takut dengan kucing. Tiap kali didekati kucing di rumahmu saja, hebohku minta ampun.
"Sama kucing aja takut," cibirmu saat itu. Kaumeraih kucing lucumu yang berada di dekat kakiku. Kau mengelus pelan bulu-bulu halusnya.
Aku cemberut mendengar cibiranmu. Bergidik juga melihatmu mengelus kucingmu.
"Hahah... yang penting sama pemilik kucingnya nggak takut. Iya kan?" godamu sambil mencubit hidungku.