Bicara tentang sarung pasti akan langsung kepikiran bapak-bapak berangkat ke masjid atau santri di pondok pesantren. Ya...sarung selalu identik dengan kaum Adam meski saat anak-anak sering aku mengenakan sarung kalau mukena bagian bawah hilang begitu saja.
Yang aku ceritakan kali ini tentang kebiasaan ibu setelah mendapatkan ujian berat. Ibu stroke. Selama 3 minggu dirawat di rumah sakit bersama saudaraku. Aku sendiri waktu itu memiliki anak usia 1 tahun, tak mungkin menemani ibu di rumah sakit.
Aku selalu harap-harap cemas dengan kondisi ibu yang masih di rumah sakit. Ketika masuk kamar ibu sering kali berdebar karena teringat saat melihat ibu berselonjor setelah shalat tahajudnya.
Ibu memanggil saudaraku dengan suara lemah, tak seperti biasanya. Kukira ibu sudah bersiap-siap ke mushola untuk shalat Subuh berjamaah seperti biasanya.
Ternyata, ibu masih berada di kamar.
"Kenapa, bu?" tanya saudaraku yang lebih dulu sampai kamar ibu.
"Ada apa, mbah ut?" tanyaku kemudian.
"Tulung ewangi ngadeg, sikilku ora isa diobahke..."
Saudaraku mencoba membantu ibu untuk bangkit. Tak berhasil. Aku panik sekali. Segera aku menuju kamarku karena aku menggendong si kecil yang sudah bangun sejak pukul 3 lebih. Aku bangunkan suamiku untuk membantu ibu.
Suamiku mengikutiku yang panik dan masih menggendong si kecil. Sampai di kamar ibu, suamiku membopong tubuh ibu dan menidurkannya di dipan.
Si kecil diajak suamiku sementara aku dan saudaraku membalurkan minyak ke seluruh tubuh ibu. Semakin lama ibu merasakan tubuhnya kesemutan. Aku tak ingin berpikir negatif tetapi tak bisa.
Segera kami telepon bulik dan mbak. Akhirnya mereka datang ke rumah diikuti tetangga yang baru saja pulang dari masjid dan mushala.Â
Tak lama ibu yang tadi tertidur, akhirnya bangun. Ibu hendak bicara tetapi suaranya pelo. Aku semakin yakin bahwa ibu terserang stroke.
Oleh petugas kesehatan kami diarahkan untuk segera membawa ibu ke rumah sakit. Ibu akan tertolong jika segera ditangani dokter.
**
Sepulang dari rumah sakit, aku yang sering menengok ibu di rumah. Ya karena tempat kerjaku sangat dekat dengan rumah ibu.
Sedih juga, dulunya ibu begitu aktif melakukan kegiatan ini-itu. Tetapi harus banyak tiduran. Ibu masih harus terapi duduk. Butuh waktu lama agar ibu bisa duduk tanpa merasa pusing.
Untuk membantu terapi ibu kami meminta terapis, pak Ismet, dari RSUD. Pak Ismet melakukan terapi sekali dalam seminggu.Â
Aku dan saudaraku memperhatikan bagaimana cara memberikan terapi wicara dan gerak. Saat itu pasti ibu down tetapi dibuang jauh-jauh perasaannya. Meski sesekali memberikan kode bahwa tangannya sakit jika diterapi.
"Sakit karena masih kaku, ibu. Makanya semangat berlatih ya. Nanti putrane ibu bantu. Yang penting ibu manut pada mereka."
Ibu mengangguk.
**
Hari demi hari ibu kami telateni agar segera bisa beraktivitas. Setiap pagi ibu aku ajak keluar rumah untuk berjemur sambil melakukan gerakan terapi.
Saat itulah ibu mulai bisa bicara.
"Lara..."
Lalu aku yang membantu terapi hanya memompakan semangat kepada ibu. Seperti yang dilakukan pak Ismet.
Selain terapi di rumah, ibu juga sempat terapi sinar tetapi ibu merasa kelelahan dan sering tidur saat waktu shalat tiba. Karenanya terapi ini dihentikan.
**
Kemajuan demi kemajuan yang dialami ibu membuat kami bersyukur. Ibu bisa berjalan dengan tongkat di tangan kirinya. Dengan begitu ibu menjadi mandiri.Â
Ke kamar mandi bisa dilakukannya sendiri. Asal kami telah siapkan air hangat untuk mandinya. Kami tinggal memasak untuk menu makan saja dan sesekali mengawasi ketika ibu ke kamar mandi. Khawatir juga kalau ibu jatuh terpeleset.
Untuk urusan makan, ibu sering protes karena masakannya hambar. Kami paham tetapi demi kesehatan ibu, protes itu tak kami pedulikan.
Namun melihat ibu yang makannya tak habis, ya sedikit demi sedikit kami beri masakan berasa.
Di akhir hidup ibu, ibu sangat menyukai sayur lombok. Sesekali aku masakkan.Â
**
Ujian ibu sangat berat. Ibu seharusnya berangkat haji tahun 2013 tetapi beberapa bulan sebelum keberangkatannya malah stroke.
Mimpinya untuk beribadah dan melihat Ka'bah menjadi tak mungkin terjadi. Bukannya patah semangat, ibu malah semakin getol beribadah. Shalat fardhu, shalat sunnah dilakukannya di atas kursi yang berada di depan pintu kamar ibu.
Ibu tak mungkin shalat dalam posisi berdiri. Ibu dan kami menyadari bahwa faktor usia, kesembuhan ibu ya sampai pada capaian itu.
Sambil duduk di atas kursinya, ibu shalat dan melantunkan tilawahnya. Tentu ibu mengenakan mukena untuk shalat dan bertilawah. Namun hanya mukena atasan saja.
Untuk menutup bagian kaki, ibu meminta sarung saja.Â
"Ben gampang le nutupi. Sing penting brukut sikilku..." begitu kata ibu.
Semenjak itu ibu memang sering menutupi kakinya saat mendirikan shalat. Meski telah mengenakan celana panjang.
**
Sarung yang selalu menemani ibu ketika shalat, kini berada di pangkuanku. Ada rasa haru sekaligus bahagia.
Ibu yang telah berpulang tiga bulan yang lalu, telah melalui cobaan dengan sabar dan dalam kondisi berpuasa. Ya ibu sahur di dunia dan berbuka puasa di surgaNya.Â
Kami menemukan ibu dalam kondisi tubuh masih hangat dan bibir memutih jelang azan Maghrib. Dalam posisi tiduran dan wajah bersih oleh air wudhu yang selalu menyapu wajah dan anggota tubuh lainnya.
Ya... semasa hidup, tak henti-hentinya ibu juga menasehati kami untuk selalu memelihara shalat, puasa dan amalan lainnya.Â
**
"Bu, iki sarunge mbah uti to?" tanya si kecil yang kini telah duduk di kelas 2 SD.
Aku mengangguk dan mengajaknya mendirikan shalat dan mengirimkan doa untuk keselamatan dan ampunan untuk simbah utinya. Juga kumohonkan ampunan untukku sendiri yang sering kali mengecewakan dan menyakiti hati ibu semasa hidupnya.
Allahummaghfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaani shaghiiraa.
Ya Allah ampuni kedua orangtuaku. Ya Rabbi kasihilah mereka seperti mereka mengasihiku di waktu kecil. Aamiin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H