Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Mengelola Keuangan Keluarga yang Sehat, Bagaimana Caranya?

2 April 2020   23:05 Diperbarui: 4 April 2020   03:05 1025
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengelolah keuangan keluarga (Sumber: regional.kompas.com)

Beberapa saat yang lalu, seorang kenalan saya menceritakan bahwa dia harus utang sana sini demi menyambung hidup. Tragisnya ketika mengutang itu sang suami tak mengetahuinya. Kenalan saya juga tak berani berterus terang tentang utangnya itu.

Ada kisah lain di mana suami ada yang tak memberikan nafkah. Setiap bulan tak pasti memberikan uang kepada istri. Padahal mereka sudah memiliki buah hati.

Tentu masih banyak cerita lain yang hampir serupa dengan dua kasus yang telah saya ceritakan. Ketika dua insan berkomitmen untuk menikah maka keuangan akan menjadi hal yang penting dalam keseharian. Jika biasanya ketika masih sama-sama belum terikat maka keuangan jelas menjadi kuasa masing-masing individu.

Lalu bagaimana jika keduanya telah menikah? 

Dalam keadaan berkeluarga, entah keluarga baru atau keluarga yang telah lama membina biduk rumah tangga, akan ada perubahan dalam pengelolaan keuangan.

Suami sebagai kepala keluarga ---yang semula memegang dan mengelola uangnya sendiri--- berkewajiban memberikan nafkah lahir batin untuk istri dan anak-anaknya. Karenanya jika telah menikah maka suami wajib memberikan uangnya untuk dikelola istri.

Istri juga harus menyesuaikan dengan kemampuan keuangan keluarga dalam membelanjakan uang dari suami. Diusahakan agar tidak besar pasak daripada tiang. Istri yang baik tidak akan terlalu menuntut uang yang diberikan suami agar bisa lebih banyak. Nrimo ing pandum. Menerima dengan keikhlasan hati dan tidak neko-neko, niscaya nanti uang akan cukup.

Begitu normalnya pengelolaan keuangan keluarga. Namun terkadang masih banyak yang jauh dari sisi normal tadi. Suami sering tak memberikan uang bulanan kepada istri karena merasa istrinya telah memiliki penghasilan sendiri.

Tentu saja, suami tersebut sangat keliru. Dia tidak memahami status dan perannya sebagai kepala keluarga. Status yang menuntutnya harus menjadi tulang punggung keluarga.

Meski sang istri telah memiliki penghasilan sendiri, bahkan mungkin penghasilannya lebih banyak, bukan berarti menggugurkan kewajiban sebagai kepala keluarga.

Apabila suami tak melaksanakan kewajiban utamanya sebagai pemberi nafkah keluarga maka akan menyebabkan munculnya permasalahan. Istri merasa tak diberi nafkah dan kesal. Dia merasa tak diperlakukan sebagai istri.

Ilustrasi: klubwanita.com
Ilustrasi: klubwanita.com
Pernah kenalan saya mengatakan sangat iri ketika saya bercerita bahwa ketika lebaran saya tak membeli pakaian baru. Yang membelikan adalah suami saya. Kenalan saya langsung berkomentar, "Enaknya ya. Bisa dibelikan pakaian baru sama suaminya. Lah aku, beli sendiri."

Saya tersenyum. Kenalan saya memang sudah PNS. Setiap bulan menerima gaji dan bahkan juga telah sertifikasi. 

"Mbaknya kan sudah PNS, jadi bisa beli pakaian sendiri. Lah kalau saya, bukan PNS, mbak. Jadi ya nggak bisa beli sendiri," jawab saya waktu itu.

Lebih lanjut dia bercerita kalau ingin juga dibelikan oleh suaminya. Saya hanya mengatakan agar teman saya itu bersyukur saja karena dia malah lebih mandiri.

Saya termasuk orang yang tidak ingin ini dan ingin itu. HP kalau belum rusak beneran pasti juga tidak ganti. Motor pun belum ganti, motor pemberian orangtua tahun 2006. Meski saudara sudah ganti beberapa kali, saya setia dengan motor itu.

Saya tak mau menyusahkan diri sendiri dan suami. Maklumlah saya bukan termasuk orang yang gajinya banyak. Saya mendapat tunjangan yang cair 3 bulan sekali, kadang bisa lebih dari 3 bulan baru cair.

Sementara suamilah yang mendapatkan gaji dari negara. Bukan berarti dia kaya. Tidak. Kami biasa hidup prihatin. Kami menikah saja sama-sama masih sebagai tenaga non PNS. Jadi ya tidak begitu kaget ketika setiap bulan harus prihatin.

Hal terpenting bagi saya pribadi, suami memberikan nafkah berapapun saya terima. Sementara tunjangan yang saya terima entah berapa bulan sekali itu saya gunakan juga untuk membantu keuangan keluarga. Ketimbang harus ngutang sana-sini. 

Saya tahu dalam ajaran agama saya mengatur bahwa uang istri itu menjadi hak istri. Uang dari suami menjadi hak keluarga. Namun saya sadar jika itu saya pegang, morat-maritlah keuangan keluarga. Toh jika saya ridho untuk membantu keuangan keluarga juga diperbolehkan.

Saya berpikir, bukan saatnya lagi untuk saya cuma memikirkan kesenangan dari uang saya, seperti saat masih sendiri. Uang keluarga ya ditopang bersama karena saya juga bekerja di luar rumah. Kecuali kalau saya hanya di rumah, menjadi ibu rumah tangga, maka sudah tentu saya hanya menopangkan keuangan keluarga pada suami.

Mengelola uang keluarga memang tak mudah. Butuh kesadaran dari suami dan istri untuk saling menutupi agar tidak terlalu banyak beban utang. Dan yang pasti untuk menghindari perselisihan juga karena uang adalah urusan yang bisa menjadi bibit kekesalan.

Saya yakin di luar sana juga banyak yang berpikiran sama dengan saya. Banyak yang telah menerapkannya jauh sebelum saya berkeluarga. 

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun