Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku dan Ulang Tahunku

28 Februari 2020   14:44 Diperbarui: 28 Februari 2020   14:49 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: selerasa.com

Terlahir di tahun kabisat, bukan sebuah kesalahan meski membuatku kesal bukan kepalang. Selama 3 tahun, hari lahirku tidak dirayakan. Sementara temanku setiap tahun mengadakan perayaan ulang tahun.

Kalau bukan karena masalah perayaan ulang tahun, kukira aku akan menganggap hari dan tanggal lahirku bukan hal yang aneh atau unik. 

Aku sadar, Allah sudah menentukan hari lahirku tanggal 29 Februari. Orangtua terutama ibuku yang melahirkanku secara normal juga tidak bisa memilih kapan bayinya akan dilahirkan. Meski HPL sudah diketahui, nyatanya bisa meleset.

Menurut ibu, HPL bayinya ---aku tentunya--- kala itu tanggal 3 Maret. Namun Allah sang Maha Penentu, menentukan tanggal 29 Februari.

Seperti halnya ibu lainnya, kelahiran bayi sebelum HPL lebih melegakan daripada kelahiran bayi yang mundur dari HPL. 

"Yang terpikir oleh ibu, kamu bisa lahir dengan lancar, ndhuk. Nggak mikir tahun kabisat atau nggak..."

"Tapi, Akta Kelahiran bisa dimajukan atau dimundurkan kan tanggal lahirku?" protesku waktu aku berusia 2 tahun. Maksudku harusnya aku sudah berusia 8 tahun.

Ibu tersenyum. Ibu kebingungan untuk menjelaskan tentang hari lahirku.

"Aku maunya kalau ulang tahun juga dirayakan!"

Ibu hanya terdiam. Ayah yang baru saja pulang kerja tak tinggal diam.

"Oke. Tahun ini kamu kan ulang tahun. Kamu bisa undang teman-teman dan anak-anak panti..."

Aku berteriak kegirangan. Lalu aku menyadari, bahwa akan ada kue ulang tahun yang akan dipesan seperti waktu ulangtahunku yang kedua. 

"Ada apa lagi, ndhuk?"

Aku menggelengkan kepala. 

"Nanti kamu bersama ayah pesan kue di AB Bakery ya!"

**

Dalam perjalanan menuju AB Bakery, aku terdiam seribu bahasa.

"Hei...gadis ayah kenapa nih? Mau ultah kok malah manyun gitu..."

Aku bingung mau mengatakan uneg-unegku.

"Mmm... Kuenya ada angkanya nggak?"

Ayah tersenyum mendengar pertanyaanku.

"Kamu pinginnya gimana?"

"Nah...itulah, yah! Aku bingung. Aku malu!"

Ayah diam. Ayah berpikir yang terbaik untuk kueku harus seperti apa.

"Kenapa malu, ndhuk?"

"Temanku sudah 11 atau 12 tahun. Trus aku?"

Aku tak melanjutkan kata-kataku.

"Ndhuk, yang terpenting dalam hidup itu bukan angka dalam usia. Tetapi ini..." ucap ayah sambil menunjuk dadanya.

"Kamu memang baru 3 tahun. Bukan berarti kamu seperti balita kan?"

Aku mengangguk.

"Kamu tetap sama dengan temanmu. Kemampuanmu juga tak jauh beda dengan temanmu yang berusia 11 atau 12 tahun kan?"

"Iya. Tapi..."

"Ndhuk, kelahiranmu benar-benar anugerah buat ayah dan ibu. Kamu cantik, pinter, rajin shalat. Kami bangga padamu."

"Benarkah, yah?"

Ayah tersenyum dan mengangguk pelan.

"Jadi, aku juga harus bangga dengan diriku sendiri ya, yah?"

"Yap. Seratus! Harus begitu!"

**

Tanggal 29 Februari.

Teman-teman sudah hadir di rumah. Tidak ada kado-kadoan. Undangan ulang tahunku dibuat ayah secara khusus. Tidak menerima kado. Karena ayah dan ibu berniat untuk syukuran saja.

Tapi snack, minuman, coklat tetap disiapkan untuk menyambut teman-teman sekolah dan panti asuhan.

Aku bahagia dengan kehadiran mereka. Mereka juga tak peduli dengan usiaku saat ini. Yang ada hanya doa yang terbaik untukku. Itu yang paling penting.

Aku, ibu dan teman-teman masih menunggu ayah yang mengambil kue ulang tahunku. Kami mengobrol satu sama lain. Seru sekali!

Tak berapa lama, ayah datang. Aku menyambut ayah yang menenteng kotak kue ulang tahunku. Kami segera menuju meja untuk kue.

Kue diletakkan di atas meja dan dibuka. Kue ulangtahun yang cantik terlihat di sana. Tak ada nama dan angka di sana. Ya, aku dan ayah memutuskan untuk pesan kue ulang tahun cokelat tanpa nama dan angka. Teman-teman sudah tahu namaku dan perkara usiaku, tak perlu diumumkan. Aku ingin seperti yang lain. Itu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun