Jadi dalam menuliskan cerita, penting sekali dalam menentukan tema dan pesan yang ingin disampaikan. Tak kalah penting, jika ingin menyampaikan pesan yang berbau religi juga tak apa-apa.Â
Namun perlu juga kita perhatikan cerita anak akan disasarkan pada anak seagama atau secara umum. Jika sasaran adalah semua anak, tanpa peduli agama yang dianutnya, maka pesan keagamaan boleh disisipkan, asal tidak terlalu banyak. Bisa saja penulis menggambarkan seorang anak yang rajin. Anak itu baru saja pulang dari masjid, gereja atau tempat ibadah lainnya. Sekadar menunjukkan bahwa si anak taat beragama.
Begitu juga kisah tentang keragaman suku bangsa. Tak perlu semua hal diceritakan. Jika diceritakan semua, anak akan bosan membaca. Malah pesan dari penulis akhirnya tidak sampai pada anak.
Kedua, tentukan tokohnya. Jika cerita anak biasa, nama perlu dipikirkan baik nama tokoh protagonis maupun antagonisnya. Oh iya, akan lebih baik jika tokoh dalam cerita anak tokohnya benar-benar bersifat buruk dan baik. Karena anak akan mudah membedakan karakter baik yang bisa ditirunya dan karakter buruk yang harus dijauhinya. Hindari tokoh abu-abu.
Jika cerita anak berupa fabel juga perlu diketahui juga karakter hewan secara nyata. Biar anak tidak bingung juga. Penamaan binatang menjadi tokoh dalam fabel juga bisa dengan sebutan binatang yang bersangkutan. Atau bisa juga pilihan lain.Â
Misalnya dulu saya pernah menulis fabel Kin dan Rum. Tokohnya sama-sama capung. Hanya beda jenisnya. Kin saya ambil dari istilah capung dalam bahasa Jawa yaitu Kinjeng, lalu saya ambil suku kata bagian depan ---Kin--- dan Rum untuk jenis capung jarum ---Saya ambil dari kata Jarum dan suku kata yang berada di bagian belakang.
Ketiga, tentukan alur, setting cerita. Alur yang paling mudah dipahami anak adalah alur maju. Kejadian atau peristiwa akan lebih mudah jika dituliskan berurutan. Mereka tidak akan pusing untuk mengingat peristiwa yang sederhana dalam alur maju.Â
Setting cerita juga disesuaikan dengan jenis cerita anak. Fabel biasanya di hutan, kebun, taman. Akan beda dengan cerita dengan tokoh anak. Setting tempat bisa di rumah, sekolah, dan sebagainya.
Langkah lain, saya membaca banyak buku cerita anak, entah fabel, dongeng dan sebagainya. Selain itu juga menonton film anak. Di sana saya belajar untuk pengungkapan cerita dan dialog sesuai usia anak. Membahasakan kalimat dengan bahasa anak itu perlu dilatih juga.Â
Setelah menentukan tema, pesan, tokoh dan karakter, serta alur, maka mulai tulis ceritanya. Perlu kesabaran tingkat tinggi dalam hal ini. Jika menuliskan cerita roman, maka penulis bisa menempatkan diri sebagai tokoh. Bahasanya mudah ditulis karena sesuai usia. Namun cerita anak, penulis harus lebur juga, termasuk membahasakannya.
Saya sering menemui kegagalan juga dalam menuliskan cerita anak dalam bahasa yang dimengerti anak. Karena sulitnya membahasakan cerita anak, ada baiknya dikoreksi atau diedit dengan seksama. Bayangkan diri sebagai anak yang pengetahuannya belumlah luas dan masih polos dalam berpikir.