Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Tips Ringan Menulis Cerita Anak

19 Januari 2020   11:34 Diperbarui: 19 Januari 2020   14:40 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bercerita ke anak-anak (Sumber: grid.id)

Menjadi orangtua atau pendidik di lingkungan sekolah membuat saya merasa begitu dekat dengan dunia anak. Apalagi yang saya ajar adalah anak SD. Pastinya ketika masa sekolah dan kuliah saya tak pernah membayangkan akan mengajar anak usia SD. Maklum saya mengambil jurusan yang peruntukannya untuk mengajar di SMP atau SMA.

Singkat cerita, meski saya memiliki basic mengajar yang tak linier atau sesuai nyatanya saya semakin mencintai dunia saya. Dunia pendidikan dan anak. Karenanya saya sering menulis tentang keseharian saya dalam beraktivitas di sekolah. Juga keseharian di rumah.

Selain itu saya menulis beberapa cerita anak. Menulis cerita anak merupakan salah satu tantangan besar untuk saya pribadi. Menulis cerita anak berarti penulis harus menempatkan diri sebagai pribadi anak juga. Sehingga cerita yang tertuang benar-benar bahasa anak yaitu bahasa dengan kalimat yang benar-benar dipahami anak-anak.

Akibatnya untuk menulis cerita anak gampang-gampang susah. Tak sekadar menuliskan kisah anak tetapi bahasa masih terlalu tinggi dan sulit dipahami anak. Jika seperti itu maka cerita tak disebut sebagai cerita anak. 

Saya membaca beberapa koreksi dalam sebuah lomba membuat cerita anak. Di sana juru memberikan penilaian bahwa banyak cerita tentang anak tetapi bukan cerita anak. Bahasa yang dipergunakan masih tingkat tinggi. Banyak mempergunakan istilah asing, padahal itu belum dipahami secara utuh oleh anak. 

Ada juga yang cenderung puitis. Padahal pemahaman anak terhadap puisi belumlah bisa diandalkan. Orang dewasa saja kadang juga kesulitan untuk memahami puisi, apalagi anak.

Lalu bagaimana cara menulis cerita anak yang sering saya tuliskan?

Menentukan tema dan pesan yang ingin disampaikan. Tema ini saya ambil dari kejadian sehari-hari. Misalnya cerita dari saudara yang suaminya memiliki ambisi agar anaknya menjadi tentara. 

Saya buat ceritanya yang pesan utamanya agar anak tetap patuh pada orangtua, meski harus menuruti ambisinya. Di samping itu, ada pesan terselubung untuk orangtua agar tidak memaksakan kehendak. Akhirnya cerita si anak sakit dan sang ayah sadar akan ambisinya telah menyakiti anaknya.

Ilustrasi: educenter.id
Ilustrasi: educenter.id
Contoh lain saya melihat siswa saya yang tak mau berusaha dalam memperjuangkan cita-cita. Saya juga buat ceritanya, Pelajaran Berharga untuk Ahsan. 

Ahsan saya gambarkan sebagai anak yang mudah puas akan prestasinya sehingga lalai dalam berlatih. Akhirnya Ahsan kesal dan marah ketika dikalahkan teman sekelasnya.

Jadi dalam menuliskan cerita, penting sekali dalam menentukan tema dan pesan yang ingin disampaikan. Tak kalah penting, jika ingin menyampaikan pesan yang berbau religi juga tak apa-apa. 

Namun perlu juga kita perhatikan cerita anak akan disasarkan pada anak seagama atau secara umum. Jika sasaran adalah semua anak, tanpa peduli agama yang dianutnya, maka pesan keagamaan boleh disisipkan, asal tidak terlalu banyak. Bisa saja penulis menggambarkan seorang anak yang rajin. Anak itu baru saja pulang dari masjid, gereja atau tempat ibadah lainnya. Sekadar menunjukkan bahwa si anak taat beragama.

Begitu juga kisah tentang keragaman suku bangsa. Tak perlu semua hal diceritakan. Jika diceritakan semua, anak akan bosan membaca. Malah pesan dari penulis akhirnya tidak sampai pada anak.

Kedua, tentukan tokohnya. Jika cerita anak biasa, nama perlu dipikirkan baik nama tokoh protagonis maupun antagonisnya. Oh iya, akan lebih baik jika tokoh dalam cerita anak tokohnya benar-benar bersifat buruk dan baik. Karena anak akan mudah membedakan karakter baik yang bisa ditirunya dan karakter buruk yang harus dijauhinya. Hindari tokoh abu-abu.

Jika cerita anak berupa fabel juga perlu diketahui juga karakter hewan secara nyata. Biar anak tidak bingung juga. Penamaan binatang menjadi tokoh dalam fabel juga bisa dengan sebutan binatang yang bersangkutan. Atau bisa juga pilihan lain. 

Misalnya dulu saya pernah menulis fabel Kin dan Rum. Tokohnya sama-sama capung. Hanya beda jenisnya. Kin saya ambil dari istilah capung dalam bahasa Jawa yaitu Kinjeng, lalu saya ambil suku kata bagian depan ---Kin--- dan Rum untuk jenis capung jarum ---Saya ambil dari kata Jarum dan suku kata yang berada di bagian belakang.

Ketiga, tentukan alur, setting cerita. Alur yang paling mudah dipahami anak adalah alur maju. Kejadian atau peristiwa akan lebih mudah jika dituliskan berurutan. Mereka tidak akan pusing untuk mengingat peristiwa yang sederhana dalam alur maju. 

Setting cerita juga disesuaikan dengan jenis cerita anak. Fabel biasanya di hutan, kebun, taman. Akan beda dengan cerita dengan tokoh anak. Setting tempat bisa di rumah, sekolah, dan sebagainya.

Langkah lain, saya membaca banyak buku cerita anak, entah fabel, dongeng dan sebagainya. Selain itu juga menonton film anak. Di sana saya belajar untuk pengungkapan cerita dan dialog sesuai usia anak. Membahasakan kalimat dengan bahasa anak itu perlu dilatih juga. 

Setelah menentukan tema, pesan, tokoh dan karakter, serta alur, maka mulai tulis ceritanya. Perlu kesabaran tingkat tinggi dalam hal ini. Jika menuliskan cerita roman, maka penulis bisa menempatkan diri sebagai tokoh. Bahasanya mudah ditulis karena sesuai usia. Namun cerita anak, penulis harus lebur juga, termasuk membahasakannya.

Saya sering menemui kegagalan juga dalam menuliskan cerita anak dalam bahasa yang dimengerti anak. Karena sulitnya membahasakan cerita anak, ada baiknya dikoreksi atau diedit dengan seksama. Bayangkan diri sebagai anak yang pengetahuannya belumlah luas dan masih polos dalam berpikir.

Itu beberapa tips yang sering saya lakukan dalam menulis cerita anak. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun