Di SMA, banyak teman yang tak bisa membedakan kami. Sampai saat ini. Jika ada yang bertanya, kami hanya tersenyum. Apalagi jika berkomunikasi lewat akun sosial media.
Ada teman yang bertanya, "Teman yang dulu sekelas denganku yang mana ya?"
Oh iya. Masa sekolah SMA kami juga tak beda. Masih satu sekolah. Hanya beda kelas saja. Kelas 1 saya di kelas B, kembaran saya di kelas A. Kelas 2 saya di kelas C, kembaran saya di kelas D. Barulah di kelas 3, kami kembali dalam satu kelas. Kelas IPS 3.
Memang menjadi orang kembar itu seru. Sering disapa ramah seseorang yang membuat kami berpura-pura kenal. Dan pada akhirnya orang itu sadar kalau saya bukan orang yang dimaksud. Begitu juga sebaliknya.Â
Kembaran saya pernah bercerita, "Aku tadi ketemu sama bu siapa ya, mbak. Dia bilang guru SMP..."
Oh iya. Meski kami kembar, saya disapa "mbak" oleh kembaran saya. Sesuai yang diajarkan orangtua.
Pernah juga teman diklat PLPG yang berkomentar di grup FB kalau dia mengaku bertemu dengan seorang yang tidak asing di kampus. Tapi dia merasa tak disapa. Teman saya kuliah S2 di kampus yang sama dengan kembaran saya.
Tentu saya tahu arah pembicaraannya karena saya sudah dibilangi kembaran saya.
"Mbak, aku tadi ketemu bapak-bapak muda yang menyapa. Aku langsung mikir kalau dia temanmu..." cerita kembaran saya.
Saya langsung membalas komentar teman saya itu.Â
"Maaf ya, mas guru. Dia kembaranku. Jadi dia agak bingung juga pas njenengan sapa..."