Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Pelukan Pertama pada Hari Pertama Musim Penghujan ini

8 November 2019   17:29 Diperbarui: 8 November 2019   17:33 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: islamidiyah.blogspot.com

Aku seperti anak kecil. Di saat hujan turun untuk pertama kalinya di tahun ini aku melonjak kegirangan. Aku segera berlari ke tanah lapang. Meluapkan perasaanku. Ya...perasaan hatiku yang tak tentu. Aku ingin melupakan meski hanya sekejap saja.

Hari ini aku tak memiliki firasat apapun. Aku menemui sahabatku sesuai undangannya. Namun apa yang kutemui benar- benar membuatku shock. Sudahlah, biar kali ini aku melupakan sedihku. Biarlah aku pulang dalam keadaan basah dan sampai rumah tengah malam. Saat ini saja sudah pukul 22. 47. Toh tak ada yang mempedulikanku saat ini. Tak ada orang yang bisa menghiburku. Setelah apa yang kudengar dari percakapan sahabatku dengan orang yang telah menjadi bagian dari hidupku.

"Bagaimana hubunganmu dengan Mita, bro...?" kudengar sahabatku bertanya kepada seseorang. Entah siapa yang diajaknya bicara. Aku berdiri di depan rumah Bayu, sahabatku. 

Lawan bicaranya tak segera menjawab. Aku hanya menguping pembicaraan mereka. Aku ingat pesan WA Bayu dua hari yang lalu. Dia mau menunjukkan sesuatu yang tak kutahu maksudnya.

"Ayolah. Ceritalah. Kamu menikahi Mita ada sesuatu kan?" deg. Dadaku berdebar. Namaku disebut oleh Bayu. Siapa lawan bicara Bayu? 

Ya Allah. Aku begitu takut mendengar percakapan mereka selanjutnya. Kutahan perasaanku. Bagaimanapun aku berusaha mati- matian berbakti pada suamiku. Kalaupun sampai saat ini dia tak peduli, kuberharap suatu saat dia akan berubah.

Pernikahanku dengan suamiku tanpa ada paksaan. Dia menyatakan ingin menikahiku. Aku yang semula ragu, akhirnya bisa ditaklukkannya. Menikahlah kami. Namun, sikap baik suamiku berubah setelah kami resmi menjadi suami isteri.

Dia yang semula perhatian menjadi berubah seratus delapan puluh derajat. Aku tak mengerti. Mengapa dia seperti itu. Setiap kali aku bertanya, dia berlalu. Dia lebih suka menyendiri. Tidur di kamar yang terpisah. 

**

Kukuatkan hatiku untuk menyimak obrolan Bayu dan suamiku.

"Sudahlah... kamu tak perlu ikut campur, Yu..." suara suamiku mulai kudengar. Hatiku semakin tak menentu. Apa gerangan yang disembunyikan suamiku? Tanyaku dalam hati.

"Aku mau bilang ke kamu, kamu nggak adil sama istrimu. Istrimu tulus sama kamu, tapi kamu perlakukan dia seperti itu..."

"Kamu tak tahu permasalahanku. Jadi kamu diamlah..."

Bayu tertawa mendengar ucapan suamiku.

"Bagaimana mungkin kamu tega menikahi perempuan hanya demi ambisimu untuk menguasai perusahaan ayahnya..."

Sampai kali ini aku sudah tak tahan. Air mata jatuh di kedua pipiku. Tak kusangka suamiku memiliki maksud seperti itu. 

**

Akhirnya aku sampai di depan rumah. Setelah aku puas bermain dengan hujan. Menangis bersama hujan. Hujanlah yang mengetahui airmata yang jatuh di hari pertama musim penghujan tahun ini. 

Orang yang berlalu lalang, mobil yang melintas di tempatku bermain hujan tak kupedulikan. Bagi mereka, mungkin aku seperti anak kecil. Mereka tak tahu, aku memang ingin kembali menjadi anak kecil, yang tak merasakan sakit hati. Anak kecil bertengkar, lalu dengan mudahnya rukun lagi. Tak seperti orang dewasa.

Kuparkir motorku di samping rumah. Segera aku menuju pintu rumah. Sepi. Lampu sudah dimatikan. Ah...mungkin saja malah belum ada orang di rumah. Biasanya suamiku pulang sudah dini hari. 

Aku masuk rumah dalam kondisi pakaian basah. Karenanya aku langsung ke kamar mandi. Kuraih handuk yang ada di depan kamar mandi. Aku beranjak, membuka pintu kamar mandi.

"Dari mana saja kamu...?" aku terperanjat. Suamiku rupanya sudah berada di rumah. Tak ku jawab pertanyaannya. Aku tak mau menangis lagi. Konyol bila aku melakukannya. Tekadku, aku harus kuat untuk menghadapinya.

"Heiii...ditanya kok nggak jawab. DiWA nggak dibaca. Ditelpon nggak diangkat. Bikin khawatir..."

Aku tertawa sinis. 

"Sejak kapan mas mengkhawatirkanku? Sudahlah. Aku capek..."

"Hei...aku mau bicara dengan istriku..." suara suamiku meninggi.

"Apa urusan mas bicara denganku. Sementara apa yang mas lakukan selama ini apa?"

Aku mulai menangis. Tergugu. Aku merasa hatiku benar- benar hancur. Suamiku tak pernah tulus menikahiku.

"Maafkan aku, sayang..."

Suamiku meraih tubuh dan memelukku. Kurasakan kehangatan pelukannya. Pelukan yang lama kuimpikan darinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun