"Aku mau bilang ke kamu, kamu nggak adil sama istrimu. Istrimu tulus sama kamu, tapi kamu perlakukan dia seperti itu..."
"Kamu tak tahu permasalahanku. Jadi kamu diamlah..."
Bayu tertawa mendengar ucapan suamiku.
"Bagaimana mungkin kamu tega menikahi perempuan hanya demi ambisimu untuk menguasai perusahaan ayahnya..."
Sampai kali ini aku sudah tak tahan. Air mata jatuh di kedua pipiku. Tak kusangka suamiku memiliki maksud seperti itu.Â
**
Akhirnya aku sampai di depan rumah. Setelah aku puas bermain dengan hujan. Menangis bersama hujan. Hujanlah yang mengetahui airmata yang jatuh di hari pertama musim penghujan tahun ini.Â
Orang yang berlalu lalang, mobil yang melintas di tempatku bermain hujan tak kupedulikan. Bagi mereka, mungkin aku seperti anak kecil. Mereka tak tahu, aku memang ingin kembali menjadi anak kecil, yang tak merasakan sakit hati. Anak kecil bertengkar, lalu dengan mudahnya rukun lagi. Tak seperti orang dewasa.
Kuparkir motorku di samping rumah. Segera aku menuju pintu rumah. Sepi. Lampu sudah dimatikan. Ah...mungkin saja malah belum ada orang di rumah. Biasanya suamiku pulang sudah dini hari.Â
Aku masuk rumah dalam kondisi pakaian basah. Karenanya aku langsung ke kamar mandi. Kuraih handuk yang ada di depan kamar mandi. Aku beranjak, membuka pintu kamar mandi.
"Dari mana saja kamu...?" aku terperanjat. Suamiku rupanya sudah berada di rumah. Tak ku jawab pertanyaannya. Aku tak mau menangis lagi. Konyol bila aku melakukannya. Tekadku, aku harus kuat untuk menghadapinya.