Duapuluh delapan tahun usiaku saat ini. Di usia menjelang kepala tiga ini aku bermaksud mengunjungi orang yang begitu berarti dalam hidupku. Orang itu telah mengubah perilaku usilku dulu.
Di masa kecil, aku adalah anak lelaki yang sering membuat guruku kalang kabut, kehilangan cara untuk memotivasi dan memperbaiki kelakuan liarku. Di saat teman- teman belajar bersama bu guru, aku malah main di empang dekat sekolah atau makan mangga atau makanan lain di luar kelas.
Aku bisa menikmati itu semua cukup dengan minta izin ke kamar mandi. Atau kalau tidak, aku menyelinap keluar kelas ketika bu guru mengoreksi tugas kami. Di saat mengoreksi itu, biasanya memang bu guru dikerumuni teman- teman yang penasaran dengan hasil dan nilai tugasnya.
Nah, di saat itulah aku leluasa keluar kelas tanpa sepengetahuan bu guru. Begitu selesai mengoreksi dan membagikan buku tugas, barulah bu guru menyadari bahwa aku sudah tak ada di kelas lagi.
Pernah secara tiba- tiba, dari jendela kelas, bu guru berkata dengan suara agak keras sambil melihat ke arahku, "Enaknya, jam segini makan mangga... "
Aku kaget bukan main. Aku segera menuju ke kelas tanpa rasa berdosa. Aku memang termasuk murid yang ndableg. Siapapun gurunya aku tak pernah ambil pusing kalau dimarahi.Â
Namun dalam perkembangannya, aku pernah melakukan kesalahan besar. Saat itu aku tak mengerjakan tugas untuk kesekian kalinya, lalu aku diingatkan oleh bu guru.Â
Di tengah aku menjawab pertanyaan bu guru, Yuli, salah satu temanku kupukul kepalanya hingga dia menangis. Bahkan teman- teman yang putri lainnya dalam satu hari kupukul hanya karena alasan sepele.
Bu guru marah sekali padaku. Bu guru mengingatkan kalau aku tak boleh mengganggu teman.
"Kalau kamu merasa keberatan dengan tugas itu, kamu setidaknya tidak mengganggu teman..."
"Sak karepku to..." (sesukaku...), sahutku.Â
"Kamu diingatkan kok begitu. Bu guru bisa marah..." ucap bu guru.
"Marah saja. Mengko ta antil..." (nanti kuhajar), ucapku saat itu. Aku yakin bu guru sangat sakit hati padaku. Namun bu guru sering melupakan kenakalanku demi melihatku menulis. Meski aku tak bisa membaca kata- kata yang kutuliskan. Aku menulis bukan perkata, tetapi perhuruf. Akibatnya tulisanku tak rapi dan tanpa spasi atau jarak perkata.
Kalau aku mengingat kenakalanku waktu SD dulu, aku merasa bersalah dan berdosa. Untuk itu aku berusaha menemui orang terkasih, yang sangat berarti untukku. Ya, bu guruku. Bu Sari.Â
Aku melakukan napak tilas ke sekolahku dulu. Bangunannya lebih modern, bersih, indah. Tak ada lagi sudut sekolah tempatku bersembunyi untuk makan buah mangga waktu itu. Tempat itu saat ini menjadi ruang perpustakaan yang megah. Sungguh berbeda jauh dengan kondisi sekolah ketika aku belajar di sana.
Aku menuju ke ruang guru. Ruangan itu sudah berpindah. Aku harus bertanya pada satpam sekolah untuk menemukannya. Sedang ruang guru yang lama, sudah rata dengan tanah dan beralih fungsi menjadi lapangan basket.
"Bu Sari sudah purna, mas..." ucap satpam itu ketika mengantarku ke ruang guru.Â
Aku kaget. Ternyata bu Sari tak ada lagi di sekolah. Namun satpam itu tak mengetahui alamat bu Sari yang tepat. Aku bertekad untuk mencari alamat beliau.Â
**
Aku berada di depan rumah sederhana. Tanpa pagar besi di sana. Sebagai gantinya pagarnya berupa pohon teh- tehan yang ditata setinggi dada. Kemudian di sisi kanan rumah ada tumbuhan melati yang sedang berkuncup. Meski sangat sederhana, namun tetap nyaman dan segar dipandang.
Rumah itu terlihat sepi. Entah di mana penghuninya. Aku sendiri masih ragu, apakah rumah itu tempat tinggal Bu Sari atau bukan.Â
Tiba- tiba dari sisi kiri rumah muncul seorang lelaki yang kutaksir usianya sudah mendekati kepala empat.
"Emmm... mas, apa benar ini rumah Bu Sari?" tanyaku.
Lelaki itu terdiam sejenak. Lalu aku dipersilakan duduk di kursi teras rumah.
**
Pikiranku kosong. Tak kusangka orang yang kucari, bu Sari, sudah tiada. Sedangkan suaminya saat ini tinggal di rumah putrinya di Lampung.Â
Aku ingat terakhir kali bu Sari memotivasiku untuk punya cita- cita yang tinggi. Aku bingung saat itu. Jangankan cita- cita, membaca saja tak bisa. Bu Sari tersenyum. Lalu beliau bercerita kalau beliau yang sudah tua saja memiliki cita- cita.
"Kalau bu guru ingin sampai ke Mekah. Itu cita- cita bu guru. Bu guru mulai menabung lho..."
Belum sampau cita- cita itu terlaksana, Allah lebih sayang padanya. Harapanku untuk menghajikan beliau dan melihatnya tersenyum di depan ka'bah hanya mimpi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H