Simbah kakung Pipit menerima uluran tanganku. Namun beliau masih wanti- wanti kalau aku mengulangi lagi perbuatanku maka tak segan- segan beliau akan melaporkan ke polisi.Â
Bu Iqom lalu menasehatiku juga agar besok paginya kalau Pipit masuk sekolah, aku meminta maaf padanya. Sekarang ini Pipit berada di Puskesmas dengan diantar guru kelas kami, Bu Sari.
**
Delapan tahun kemudian --- setelah kami tak pernah bertemu karena sekolah kami tak sama--- aku dan Pipit dipertemukan lagi dalam kegiatan KKN. Ya...kami kuliah di satu kampus. Beberapa kali bertemu dan hanya saling tersenyum.Â
Barulah kami bisa bicara dalam KKN. Kebetulan kami satu kelompok. Semula aku canggung untuk bicara dengannya namun aku tak mungkin diam terus selama KKN.Â
Aku menanyakan kabarnya dan keluarganya. Oh iya, Pipit menjadi lebih cantik, anggun tetapi masih sedikit cerewet. Apalagi kalau ngobrol dengan anggota kelompok yang putri. Ramai sekali. Bisa mengalahkan keramaian pasar tradisional.
Aku memaklumi saja. Bagaimanapun aku masih sedikit hafal dengan perilakunya. Aku tak mungkin mencari dan membuat masalah di lokasi KKN. Diapun begitu. Soalnya resiko kalau harus sering bertengkar seperti masa kecil kami. Bisa- bisa program KKN kami kacau.
**
Dua tahun kemudian Pipit wisuda. Sedangkan aku wisuda terlebih dahulu. Bisa dibilang aku termasuk mahasiswa yang bisa memanfaatkan waktu. Bukan mahasiswa cerdas lho. Jadi, aku bisa lulus lebih cepat. Termasuk angkatan pertama dari seluruh teman seangkatan.
Aku mendatangi wisudanya. Aku sudah berjanji padanya ketika gladi bersih.
"Kamu nggak takut bertemu simbah kakungku, Naf?"