Dunia anak yang kualami menjadi kisah yang sangat berkesan bagiku. Aku termasuk anak lelaki yang pendiam namun sekali ada yang menggangguku, meski tanpa sengaja, pasti aku mudah tersulut emosi.
Aku ingat, bu guru yang terkenal sabar saja sampai murka ketika perilakuku tak berubah. Pernah teman lelaki yang tanpa sengaja mencoret gambar untuk tugas mata pelajaran Seni Budaya dan Keterampilan, aku pegang kerahnya penuh emosi. Atau kisah lain, teman- teman putri yang sering ramai dan ceriwis ---meski bu guru atau pak guru sedang mengajar--- ngerjai aku. Pantatku disogok menggunakan sapu ijuk. Itu berulang kali dilakukannya.Â
Saking merasa kesal ---karena dikerjai--- aku mangkel. Waktu itu waktu istirahat pertama. Untuk memberi pelajaran anak- anak perempuan itu, kuambil batu sebesar kepalan tanganku. Tanpa pikir panjang kulempar ke arah mereka. Berhasil! Batu itu mengenai salah satu di antara mereka. Aku puas! Aku yakin mereka sudah pasti tak berani lagi menggangguku.
Namun ternyata akibat dari lemparan batu itu mengenai kepala bagian kanan belakang Pipit. Menangislah dia. Oleh teman perempuannya, Pipit diajak ke kantor. Sudah pasti mereka melaporkan kelakuanku. Lengkap sudah! Catatan khusus di Buku BK pasti bertambah. Aku tak peduli.
Tak berapa lama aku dicari teman- teman.
"Nafi, kamu dicari bu Iqom!"
Nah...benar kan? Aku dilaporkan kepada guru paling senior di sekolahku. Semua siswa sangat segan pada beliau. Mau tak mau aku menuju kantor guru. Aku menyiapkan kalimat pembelaan diri agar tak kena marah untuk kesekian kalinya di bulan ini.
Setelah sampai kantor, ternyata di sana sudah ada simbah kakungnya Pipit. Beliau sudah pasti marah padaku. Aku hanya mendengarkan saja. Waktu itu bu Iqom yang mendampingiku.Â
Setelah puas dimarahi, bu Iqom menasehatiku. Aku tak boleh mengulangi perbuatanku karena mencelakakan teman perempuanku. Kata bu Iqom, siswa lelaki harusnya melindungi dan menjaga siswa perempuan. Bukan malah menyakiti.
Bu Iqom menuntunku untuk minta maaf pada simbah kakung Pipit.
"Mbah, kula nyuwun ngapunten. Kula mboten ajeng mbaleni malih..." (mbah, saya minta maaf. Saya tak akan mengulangi perbuatan saya)
Simbah kakung Pipit menerima uluran tanganku. Namun beliau masih wanti- wanti kalau aku mengulangi lagi perbuatanku maka tak segan- segan beliau akan melaporkan ke polisi.Â
Bu Iqom lalu menasehatiku juga agar besok paginya kalau Pipit masuk sekolah, aku meminta maaf padanya. Sekarang ini Pipit berada di Puskesmas dengan diantar guru kelas kami, Bu Sari.
**
Delapan tahun kemudian --- setelah kami tak pernah bertemu karena sekolah kami tak sama--- aku dan Pipit dipertemukan lagi dalam kegiatan KKN. Ya...kami kuliah di satu kampus. Beberapa kali bertemu dan hanya saling tersenyum.Â
Barulah kami bisa bicara dalam KKN. Kebetulan kami satu kelompok. Semula aku canggung untuk bicara dengannya namun aku tak mungkin diam terus selama KKN.Â
Aku menanyakan kabarnya dan keluarganya. Oh iya, Pipit menjadi lebih cantik, anggun tetapi masih sedikit cerewet. Apalagi kalau ngobrol dengan anggota kelompok yang putri. Ramai sekali. Bisa mengalahkan keramaian pasar tradisional.
Aku memaklumi saja. Bagaimanapun aku masih sedikit hafal dengan perilakunya. Aku tak mungkin mencari dan membuat masalah di lokasi KKN. Diapun begitu. Soalnya resiko kalau harus sering bertengkar seperti masa kecil kami. Bisa- bisa program KKN kami kacau.
**
Dua tahun kemudian Pipit wisuda. Sedangkan aku wisuda terlebih dahulu. Bisa dibilang aku termasuk mahasiswa yang bisa memanfaatkan waktu. Bukan mahasiswa cerdas lho. Jadi, aku bisa lulus lebih cepat. Termasuk angkatan pertama dari seluruh teman seangkatan.
Aku mendatangi wisudanya. Aku sudah berjanji padanya ketika gladi bersih.
"Kamu nggak takut bertemu simbah kakungku, Naf?"
"Nggak, Pit. Kenapa musti takut?"
Pipit tertawa. Aku sebenarnya merasa khawatir juga. Aku ingat ketika simbah kakung Pipit marah padaku di kantor guru pada masa SD dulu. Tetapi aku harus mengalahkan rasa takutku. Bagaimanapun aku dan Pipit berkomitmen untuk saling melengkapi, menjaga sampai akhir hayat kami.
Dulu aku memang nakal pada Pipit namun dalam proses pertemanan kami, hubungan kami akan berlanjut ke jenjang pernikahan.
Saat ini, aku deg- degan luar biasa menantikan esok hari. Esok hari adalah acara suci bagiku dan Pipit, ijab kabul. Ada senyum yang mengaburkan kegalauanku, gadis kecil yang kulempari batu ternyata menjadi jodohku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H