"Ibu... ayah... Husna seneeeng sekali melihat ibu dan ayah seperti ini..."
Aku tersadar. Tangan ayah Husna masih menggandengku. Aku segera melepaskan genggaman tangannya. Tak berhasil.Â
"Husna, ajak ibu dan ayahmu kemari..."
"Iya, nek..."
Kami mendekati nenek Husna. Aku tak berani menatap wajahnya. Bagaimanapun kisahku dulu benar- benar membuat trauma dan sakit hati. Air mata kutahan, aku tak mau terlihat lemah di depan Husna.
Ayah Husna menyalami dan mencium tangan nenek Husna. Aku berdiri terpaku, bingung harus bagaimana. Sementara Husna masih berada di sampingku.
"Maafkan Mumtaz, bu. Mumtaz minta restu untuk bersama Husna dan ibunya. Maaf bila ini menjadikan Mumtaz durhaka. Mumtaz hanya tak ingin Husna merasa sedih, seperti yang ibu lihat kalau dia di sini selama ini..." Ayah Husna bersimpuh, sungkem pada ibunya.
Nenek Husna memandangi ayah Husna. Lama beliau terdiam. Lalu pandangan beliau beralih kepadaku dan Husna. Husna memelukku. Entah apa yang dipikirkan putriku itu.Â
Nenek Husna berdiri dan menghampiriku dan Husna. Ayah Husna menyusulnya. Nenek Husna berdiri di hadapanku. Aku kikuk dan menundukkan kepalaku.Â
"Putri, jaga Mumtaz dan Husna ya, ndhuk..."