**
Setelah dinyatakan naik kelas IV pada kenaikan kelas, aku resmi dipindahkan ke pondok pesantren baru di luar daerahku. Pesantren itu lumayan dikenal di daerahku meski belum lama didirikan. Akan tetapi di sana belum ada fasilitas sekolah. Jadi kalau santri sekolah maka santri bersekolah di SD terdekat. Kebetulan sekolah itu milik sebuah yayasan swasta Islam.
Benar, seperti kata mas Yusuf, lama kelamaan aku merasa nyaman berada di lingkungan pesantren. Teman santri, ustadz dan bapak ibu guru di sekolah sangat baik pada kami.Â
Di tengah rasa nyamanku di pesantren, tiba- tiba aku diberi kabar bahwa bapak meninggal. Aku jadi patah semangat. Oleh pengurus pondok pesantren, aku diizinkan pulang untuk mengantar bapak di tempat peristirahatan terakhirnya.
**
Sebelum aku kembali lagi ke pondok pesantren, mas Yusuf dihubungi guruku.
"Dik, kamu sudah ditunggu bu guru untuk lomba besok Kamis..."
Aku jadi ingat, aku harus mewakili lomba seni baca Alquran. Bu guru itulah yang telah melatihku selama hampir sebulan. Bu guruku itu sangat keren bagiku. Meski bukan guru agama tapi beliau dalam bidang seni baca Alquran juga jago. Suaranya indah.
Aku jadi semangat lagi untuk sekolah dan belajar di pesantren. Meski aku telah kehilangan bapakku untuk selamanya. Apalagi ustadzku dulu pernah memberitahu bahwa orang yang meninggal dan sudah di alam kubur, dia selalu menunggu kiriman doa dan amalan anaknya yang sholih. Dia bahagia ketika dikirimi amalan sholih anak, tapi akan menangis kalau anaknya berbuat buruk.
Aku takkan membiarkan bapak menangis di sana. Aku bertekad untuk semangat belajar di pesantren, seperti keinginan bapak. Tujuanku untuk mengirimkan amalan baik untuk bapakku. Kutahu bapak tak bisa melihat keberhasilanku nanti. Bapak tak bisa tersenyum di depan mataku ketika aku sukses kelak, tapi kuyakin aku bisa memberikan kado terindah untuk bapak di sana.