Aku kembali masuk sekolah setelah beberapa hari izin. Aku terpaksa meninggalkan asrama pondok pesantren yang sudah begitu dekat dan nyaman di hatiku. Ya... Bapakku telah tiada.
Aku sedih. Dialah yang selalu mengarahkan aku untuk menimba ilmu di pondok pesantren meski aku masih kelas IV SD. Semula aku protes berat dengan keputusan bapak. Namun apa daya, aku tak bisa menolak keinginan bapak.
Bapak selalu berkeinginan anak- anaknya tahu agama. Tak seperti dirinya. Bapak adalah buruh tani. Meski begitu hanya sebagai buruh tani, bapak berpandangan luas. Dia ingin anak- anaknya lebih baik dibanding dengannya.
Bapak sangat terinspirasi dengan anak difabel yang hafal Alquran. Bapak sering menyaksikan siaran pemilihan dai cilik di sebuah stasiun televisi melalui televisi hitam putih, warisan simbahku.Â
Pertama kali masku ---Mas Yusuf--- yang dimasukkan di pondok pesantren. Mas Yusuf masuk pondok pesantren ketika SMA. Banyak hal yang diperolehnya dari pondok pesantren. Padahal waktu itu mas Yusuf belum lama di sana, baru enam bulan. Saat ini mas Yusuf di pesantren sudah masuk tahun kedua.
Mas Yusuf sering menjuarai lomba, baik lomba pidato berbahasa Inggris, membaca Alquran dan banyak lagi. Akibatnya bapak juga menginginkan hal yang sama dariku
"Nggak apa- apa, dik. Kamu manut sama bapak saja..." motivasi dari Mas Yusuf.
"Tapi bapak nggak adil. Mas Yusuf kan masuk pesantren sudah besar..."
"Justru mumpung kamu masih kecil, dik. Aku saja nyesel, kok nggak dari dulu aku nggak dimasukkan pesantren..."
Aku masih terus memprotes keinginan bapak. Bahkan aku mengatakan kalau bapak dan mamak sangat kejam dan tidak menyayangiku.
"Nanti kamu pasti akan menemukan kedamaian dan kenyamanan di sana, dik. Yakinlah..."