Mohon tunggu...
Zahrotul Mujahidah
Zahrotul Mujahidah Mohon Tunggu... Guru - Jika ada orang yang merasa baik, biarlah aku merasa menjadi manusia yang sebaliknya, agar aku tak terlena dan bisa mawas diri atas keburukanku

Guru SDM Branjang (Juli 2005-April 2022), SDN Karanganom II (Mei 2022-sekarang) Blog: zahrotulmujahidah.blogspot.com, joraazzashifa.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rasa Memiliki Itu Pudar

26 Agustus 2019   06:37 Diperbarui: 26 Agustus 2019   06:53 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku dan mas Mumtaz duduk di teras rumah. Ya...aku lebih senang kalau mengobrol dengannya di teras. Mas Mumtaz pernah protes karenanya.

"Silakan saja mas di dalam rumah. Biar ditemani Husna. Aku di luar saja..." jawabku atas protesnya saat itu.

Mas Mumtaz terhenyak. Reaksiku ternyata di luar  dugaannya. 

Pernah juga mas Mumtaz menanyakan alasanku. Tak kuungkapkan. Aku lebih suka menyimpan sendiri ketimbang mengatakan pada Mas Mumtaz.

Meski diliputi banyak pertanyaan, mas Mumtaz hanya mengikuti kemauanku. 

**

Aku duduk di sisi kiri meja teras. Mas Mumtaz di sisi kanan. Aku masih diam. Tak tahu, apa yang akan kubicarakan dengannya setelah aku diprotes karena berfoto dengan muridku yang kini menjadi mitra kerja juga.

Kumemainkan jari di atas layar HP. Kumengecek pesan atau gambar- gambar dari hasil kegiatan hari ini. Sementara mas Mumtaz memandangiku. Ya...aku merasakannya. Namun aku tak peduli.

"Put, bisakah kamu letakkan HPmu sebentar saja..."

Aku menoleh ke arah ayah anakku itu. Kuhela nafas panjang. Kuletakkan HPku di atas meja.

"Put..."

Mas Mumtaz tak melanjutkan ucapannya. Diambilnya nafas dalam- dalam. Aku masih ingat kebiasaannya itu. Kebiasaan mengontrol emosi. 

Aku tersenyum. Kumerasa hidupku dan hidup lelaki di sisiku itu sangat aneh. Hidup berpisah sekian tahun, tapi mas Mumtaz bapernya luar biasa. 

Apalagi kalau aku dekat dengan lelaki lain. Sementara aku tak peduli dengannya. Tak peduli lagi dengan hatinya semenjak dia menikah dengan Intan.

Meski mereka telah berpisah, aku sama sekali tak ingin kembali padanya. Sekalipun dia pernah mengajakku untuk rujuk.

"Husna sudah besar, Put..."

Aku diam. Tak terasa memang, Husna sudah bersamaku hampir enam tahun. Semakin cantik. Dengan wajah mirip ayahnya tapi kulit wajahnya lebih bersih.

"Aku dan kamu harus lebih hati- hati bersikap..."

Aku tahu, pembicaraan mas Mumtaz mengarah ke mana.

"Iya. Aku nggak akan aneh- aneh, mas. Demi Husna..."

Aku sama sekali tak memandang wajah ayah Husna yang sudah mulai terlihat kerutannya. Antara terima dan tak terima penilaian mas Mumtaz. Kukira berfoto dengan murid itu tak ada yang salah. Husna juga bisa kuberitahu dan pasti dia paham.

"Demi aku juga kan...?"

Tiba- tiba mas Mumtaz menanyakan itu. Terus terang, aku rasanya sudah kehilangan harapan untuk bersama ayah Husna. Aku sudah lelah. 

Restu dari orangtua mas Mumtaz tak ada. Hanya tatapan sinis ibu yang kuterima kalau aku ikut serta Husna ke rumah ayahnya.

Sungguh. Saat ini aku terlalu sayang dengan hatiku. Aku tak mau lagi hatiku sakit.

***

Tak ada keterangan apapun yang terucap dariku untuk ayah Husna. Ayah Husna menghela nafas panjang. Dia bangkit dari kursinya dan mendekatiku. Diraihnya tangan kananku.

"Setidaknya kamu masih mengenakan cincin dariku, Put. Aku sangat berterimakasih untuk itu..."

Ayah Husna segera berpamitan. Ada rasa kecewa tergambar di wajahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun