Mas Mumtaz tak melanjutkan ucapannya. Diambilnya nafas dalam- dalam. Aku masih ingat kebiasaannya itu. Kebiasaan mengontrol emosi.Â
Aku tersenyum. Kumerasa hidupku dan hidup lelaki di sisiku itu sangat aneh. Hidup berpisah sekian tahun, tapi mas Mumtaz bapernya luar biasa.Â
Apalagi kalau aku dekat dengan lelaki lain. Sementara aku tak peduli dengannya. Tak peduli lagi dengan hatinya semenjak dia menikah dengan Intan.
Meski mereka telah berpisah, aku sama sekali tak ingin kembali padanya. Sekalipun dia pernah mengajakku untuk rujuk.
"Husna sudah besar, Put..."
Aku diam. Tak terasa memang, Husna sudah bersamaku hampir enam tahun. Semakin cantik. Dengan wajah mirip ayahnya tapi kulit wajahnya lebih bersih.
"Aku dan kamu harus lebih hati- hati bersikap..."
Aku tahu, pembicaraan mas Mumtaz mengarah ke mana.
"Iya. Aku nggak akan aneh- aneh, mas. Demi Husna..."
Aku sama sekali tak memandang wajah ayah Husna yang sudah mulai terlihat kerutannya. Antara terima dan tak terima penilaian mas Mumtaz. Kukira berfoto dengan murid itu tak ada yang salah. Husna juga bisa kuberitahu dan pasti dia paham.
"Demi aku juga kan...?"