"Terimakasih, bu Put.."
"Iya. Sama- sama. Tolong dikirim ke kontakku ya, dik..."
"Oke, bu. Kula kirim sakniki nggih..." (Kukirimkan sekarang ya, bu...)
Tak lama notif WA dari Erik, yang nomor kontaknya sudah kusimpan, muncul. Kulihat simbol kamera di beberapa chatnya.
Kubuka pesan japri Erik. Beberapa foto bersamanya. Kulihat Erik memang sekarang tinggi. Dan melihat fisikku yang tak terlalu tinggi, dari foto itu terkesan kalau aku dan Erik seperti kakak beradik.
Kupilih sebuah foto lalu kuunggah pada status WA. Tanpa keterangan atau caption. Akibatnya pesan- pesan masuk ke kontakku.Â
Bu Fika yang menjadi teman sekantor Erik langsung menscreenshot foto dan mengunggah ulang foto itu. Maksudnya sih ngerjai Erik. Selama beberapa tahun mengajar, Erik belum berani menikahi pujaannya. Bahkan memajang foto pujaannya saja tak berani.
"Kata Pak Erik malu kalau majang foto perempuan tapi akhirnya nggak berjodoh..." Cerita Bu Fika.
"Heehhee.. Baguslah. Nggak perlu dipajang di statusnya. Cukup dipajang di hatinya saja...Eaaaa..." balasku.
Sementara chat lain juga bermunculan. Yuni, sepupuku juga mengirim pesannya. Karena yang dia tahu aku jarang sekali mau berfoto dengan lelaki, meski aku lama ditinggal mas Mumtaz demi menikahi perempuan lain.
"Pasti muridmu ya, mbak..."