Husna saat ini duduk di kelas VI. Sudah lama juga aku hidup bersama putri cantikku yang kini sudah semakin cantik.Â
Dia tetap bahagia meski orang tuanya belum juga rujuk. Atau mungkin takkan pernah. Meski berulangkali Mas Mumtaz menyatakan ingin rujuk, namun dia tak mungkin menyakiti ibunya.
Akupun sudah tak terlalu memikirkan untuk hidup bersamanya atau dengan lelaki lain. Hal yang kuprioritaskan adalah Husna. Dia semakin besar. Tak lama lagi dia menginjak usia remaja. Aku harus memperhatikan anakku itu. Karena kuyakin dia akan lebih senang berkumpul dengan teman sebayanya daripada bersama ibunya.
Atau bahkan dia nanti sudah akan mengurangi kebersamaan dengan ayahnya setiap akhir pekan. Kuharap hal itu tak membuat munculnya pikiran negatif ayah dan nenek Husna.
Bagaimanapun Husna bukan anak kecil lagi. Kegiatan di luar sekolah pasti akan lebih banyak dinikmati bersama temannya.Â
Aku sebagai ibunya harus siap jika akhirnya aku kesepian lagi.
**
"Put, apa kita memang tak bisa rujuk lagi?"
Mas Mumtaz mendatangiku setelah mengantar Husna ke lokasi outbound akhir pekan ini.Â
"Kok cuma diem, Put?"
Aku tersenyum dingin.Â
"Kamu pasti tak mampu dan tak tega menyakiti hati ibu, mas. Sudahlah..."
"Tapi aku bisa membagi waktu, Put. Ibu tak harus tahu kalau kita rujuk. Empat hari di rumah ibu, tiga hari bersamamu di sini..."
Mas Mumtaz menawarkan solusi untuk bisa rujuk lagi denganku.
"Seminggu sampai sebulan ibu mungkin bisa dibohongi. Tapi selebihnya ibu akan curiga juga, mas..."
Mas Mumtaz menyadari kalau pemikirannya keliru. Entah apa yang dipikirkannya.
"Aku tak mau kehilangan kamu, Put..."
Ah... penyesalan memang selalu datang terlambat. Kenapa kalimat itu tak diucapkannya dulu ketika Husna berumur enam bulan?Â